Sabtu, 28 April 2012

Perempuan di Titik Nol

Judul : Perempuan di Titik Nol
Penulis : Nawal el-Saadawi
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Cetakan : IX, 2006 Tebal : xix + 156 hlm




Karya Nawal el Sa'adawi: Gugatan yang Mengusik
Farha Ciciek*)
Dosen Universitas Nasional, Jakarta 


Dia adalah seorang dokter dan pejuang hak asasi manusia. Dia terutama memperjuangkan hak perempuan melalui berbagai tulisannya yang kontroversial. Sejumlah karangannya, baik berupa fiksi, semisal God Dies by the Nile, The Hidden Face of Eve, Two Women in Love, Memoirs of a Lady Doctor, Death an ex Minister, The Chant of the Children Circle, Women at Point Zero, A Moment of Truth, dan Little Sympathy, maupun karangan nonfiksi, seperti Women in the Arabs, Women and Sex, Women and Psychological Conflict, dan Memoirs of Women's Prison, sarat dengan gagasan yang radikal sehingga sering menggoyahkan "stabilitas masyarakat" dan membuat gusar penguasa baik sekuler maupun agama. Di negeri asalnya itu, Nawal el Sa'adawi menyengat banyak pihak, hingga keberaniannya itu menyebabkan dia dijebloskan ke dalam penjara dan kehilangan pekerjaannya. Karya-karyanya sering disensor atau bahkan dilarang di Mesir dan juga berbagai negeri Arab seperti Libia dan Arab Saudi. Meski demikian, semua karyanya yang terlarang akhirnya dicetak di Lebanon dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia, bahkan diterbitkan oleh berbagai penerbit negara Barat. 


Pembaca Indonesia mengenal nama Nawal el Sa'adawi melalui karya-karyanya yang sudah diterjemahkan, di antaranya Women at Point Zero (Perempuan di Titik Nol, yang terbit pertama kali pada 1989), God Dies by the Nile (Matinya Seorang Penguasa), Memoirs of a Lady Doctor (Memoar Seorang Dokter Perempuan), Death an ex Minister (Matinya Seorang Mantan Menteri), dan Memoirs of Women's Prison (Catatan dari Penjara Perempuan), yang diterbitkan oleh Yayasan Obor. Sementara itu, karyanya berjudul Al Ghaib diterjemahkan dari bahasa Arab menjadi Kabar dari Penjara, yang diterbitkan oleh Penerbit Tarawang, Yogyakarta. Karya Nawal selalu bersifat kontekstual dan berangkat dari realitas Arab, khususnya negara Mesir. Sebagaimana masyarakat negara-negara berkembang lainnya, berbagai masyarakat Arab (termasuk Mesir) saat ini tengah berada dalam proses "modernisasi". Dalam situasi yang demikian itu, kedudukan dan hak-hak perempuan merupakan salah satu tema perdebatan yang seru, bahkan sering berubah menjadi sumber konflik. Salah satu setting yang sering kali muncul dari karya mantan Ketua Solidaritas Perempuan Arab ini adalah silang pertemuan antara berbagai kelompok kepentingan politik, ekonomi, dan agama, serta dampaknya bagi perempuan. Nawal sangat terampil melukiskan secara lugas serangkaian trik yang diselenggarakan oleh kelompok status quo untuk mempertahankan kekuasaannya. Pembentukan, penyebaran, dan pelestarian mitos dan tabu adalah salah satu alat pengekalan kekuasaan yang dianggap efektif, di samping cara-cara represif. Dalam karyanya, Nawal berupaya membongkar tabu dan mitos itu. Ia menelanjangi realitas yang ditutup-tutupi baik dalam hubungan personal maupun sosial. Bukan hanya di wilayah publik, tetapi, seperti feminis lainnya, ia merambah jauh ke wilayah "terlarang", memasuki lingkup domestik, tempat berbagai peristiwa privat berlangsung. Derit ranjang merupakan saksi bagi kejahatan di balik kelambu dan berbagai tindak kriminal yang terjadi di dalam rumah tangga, seperti pemerkosaan dalam perkawinan, inses, atau kejahatan lainnya yang bersifat fisik ataupun psikis. 


Selain menampilkan sisi gelap kondisi masyarakatnya, dimensi lain yang selalu muncul dalam karyanya adalah timbulnya perlawanan perempuan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami. Perlawanan ini biasanya diwakili oleh seorang tokoh protagonis perempuan. Melalui berbagai cara, sang tokoh akan menolak pengobyekan perempuan sebagai sosok pemuas nafsu seks semata. Ia selalu berusaha menempatkan diri untuk menjadi perempuan "merdeka" dan sebagai subyek dalam berbagai peran yang dimainkan. Dari berbagai karyanya, Perempuan di Titik Nol (1989), yang berjudul asli Women at Point Zero (diterbitkan oleh Zed Books, London, 1983), banyak menarik perhatian dunia dan menimbulkan kontroversi, terutama di Mesir dan beberapa negara Arab. Buku ini menyuguhkan kritik yang amat tajam terhadap eksistensi laki-laki. Melalui kisah tragis seorang pekerja seks kelas tinggi, Nawal melontarkan pemikiran kritisnya terhadap realitas yang ada melalui pendekatan feminis. Kecaman telanjang terhadap struktur seksual yang patriarkis sangat kental. Nawal menggambarkan kenyataan bahwa sesungguhnya hubungan laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat adalah hubungan politik, karena hubungan itu didasarkan pada struktur kekuasaan. Tentu saja karyanya ditentang keras di mana-mana. Banyak pembaca (terutama laki-laki) yang berkomentar bahwa novel ini adalah suara propaganda kaum feminis yang bersifat menghasut dan sangat berbahaya, sehingga lebih banyak pihak yang menolaknya ketimbang yang setuju. Apa pun reaksi masyarakat, buku Perempuan di Titik Nol telah membuat banyak orang terhenyak dan kemudian menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam sistem sosial yang telah mapan ini. Inilah sistem yang sama sekali tidak memberi ruang yang berkah bagi kebanyakan manusia, apalagi jika ia lahir sebagai perempuan desa, miskin, dan kurang pendidikan seperti Firdaus, sang tokoh utama dalam buku ini. Buku ini dimulai dengan perjalanan hidup seorang perempuan Mesir bernama Firdaus. Sebuah nama yang sebenarnya sangat indah dan bermakna. Firdaus berarti surga, tempat kebebasan adalah sesuatu yang niscaya. Sayangnya, kehidupan Firdaus justru berlawanan dengan makna yang melekat pada namanya dan amat jauh dari kenikmatan surgawi. Kehidupan Firdaus adalah sepenggal cerita tentang neraka dunia. Dan penderitaan justru baru berakhir menjelang kematiannya yang dramatis. Firdaus lahir dalam keadaan miskin materi ataupun kasih sayang. Celakanya, selain miskin sejak kanak-kanak, Firdaus telah mengalami berbagai pengalaman buruk yang berkaitan dengan paksaan bahkan serangan seksual. Pelakunya adalah pamannya sendiri, seorang calon ulama yang sedang belajar agama di universitas terkemuka Al Azhar. 


Ketika beranjak remaja, karena desakan keadaan, Firdaus terpaksa kawin dengan seorangsyekh yang tua, pelit, kasar, dan "di dagunya selalu tumbuh bisul yang sangat berbau". Kehidupan berumah tangga yang dijalani penuh penyiksaan secara fisik, mental, ataupun seksual. Karena tak tahan, Firdaus kemudian lari dari cengkeraman sang suami, dan masuk ke sebuah dunia yang "tanpa hati": dunia prostitusi, dunia yang dicoba dinikmatinya, tapi harus berakhir dengan dramatis, sebuah penjara dan hukuman gantung baginya. Kehidupan Firdaus dipenuhi oleh kesulitan-kesulitan yang silih berganti. Di dalam kesulitan itu, pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa dominasi dan kemunafikan laki-lakilah yang menyebabkan semua itu. Semua gumpalan pengalaman Firdaus yang mengenaskan itu membuat luka batin yang amat perih dalam dirinya. Maka, pada puncak kemarahannya, ia memvonis semua laki-laki. "Saya mengatakan bahwa kamu semua adalah penjahat, kamu semua: para bapak, paman, suami, germo, pengacara, wartawan, dan semua laki-laki dari semua profesi." Kesan kuat yang ditampilkan novel ini bahwa pekerja seks dan segenap pekerjaannya adalah figur dan profesi yang sah dan terhormat tentu saja menjadi bahan perdebatan empuk di tengah masyarakat. Masyarakat yang telah dibekuk oleh standar moral baku yang menomorsatukan "kesucian perempuan", sehingga selalu menyalahkan perempuan yang telah memilih jalan berbeda dan yakin akan nilai yang berbeda. Jalan hidup Firdaus menuntunnya secara paksa untuk menjadi pekerja seks. Semula, profesi ini dijalani dengan setengah hati. Karena itu, ketika ia mendengar komentar pedas salah seorang pelanggannya tentang "kehinaan" profesi ini, seketika ia rela meninggalkan ladang garapannya yang subur itu dan berganti pekerjaan menjadi "pegawai rendahan tapi terhormat". Selama beberapa tahun ia belajar untuk hidup layak dan bermartabat, sampai suatu saat ia terbentur kenyataan pedih. Ibrahim, kekasihnya, lebih mementingkan kekayaan dan kekuasaan daripada cinta sejati. Pengalaman itu membuat Firdaus sadar bahwa perempuan selalu dimanfaatkan laki-laki dalam memenuhi kehendak mereka sendiri. Selama perempuan dianggap bermanfaat, mereka akan "dipelihara" dengan baik. Tetapi jika telah dianggap tak berguna, ia akan dilempar pada sudut kehidupan yang paling kelam. Kesadaran baru timbul di benak Firdaus. Maka, dengan berani ia memutuskan diri untuk menjadi pekerja seks. "Karena pelacur yang sukses lebih berharga daripada orang suci yang tersesat." Diyakini pula bahwa dalam satu dan lain bentuk, "semua perempuan adalah pelacur". Sebab, mereka adalah obyek seks, bahkan budak seks. Dan bentuk perbudakan seksual yang paling nyata ada pada kehidupan rumah tangga dalam bentuk relasi suami-istri. Sejak memutuskan pilihan menjadi pelacur secara sadar, Firdaus merasa bebas dari segala bentuk kungkungan dan ikatan. Ia merasa telah lahir sebagai manusia baru, manusia tanpa gangguan rasa takut dan dosa karena telah memilih jalan dan arah hidupnya sendiri. Bagi Firdaus, bekerja sebagai pekerja seks merupakan sebuah tahapan metamorfosis ke arah kebebasan. Sesuatu yang amat didambakan sejak kanak-kanak. Sebagai pekerja seks, ia mampu mandiri dan berkuasa. Jika tidak menghendaki, dengan tegas ia akan menolak ajakan kencan walau disodori pejabat tinggi negara, bahkan tamu negara (meski gara-gara penolakannya itu, ia pernah dijebloskan ke penjara). Ia mampu melumatkan uang hasil kencannya dengan ringan di hadapan pangeran kaya yang sengaja menghinanya. Ia mampu bersedekah kapan pun ia mau. Ia dapat memerintahkan wartawan untuk mengekspose dirinya. Ia mampu menarik para pengacara untuk membela kepentingannya. Ia mampu berbuat segalanya. Ia telah menciptakan surga sesuai dengan namanya, Firdaus. 


Namun, kebebasan surgawinya tak berlangsung lama. Jaring kekuasaan berupa sergapan sang germo hendak mencengkeram dan memaksanya kembali menjadi "budak seks". Firdaus memberontak. Untuk mengakhiri keterkungkungannya, Firdaus kemudian membunuh sang germo. Akibatnya, ia harus mati di tiang gantungan, sebuah prosesi yang bagi kebanyakan orang merupakan peristiwa yang paling menakutkan. Tetapi, melalui tiang gantungan, Firdaus justru yakin akan menemukan kembali The Lost Paradise, surganya yang hilang. Ia akan menjadi The True Firdaus, surga yang sejati dan abadi. Seperti namanya, perwujudan namanya dan surga itu abadi. Di sana, tak ada kekuatan apa pun yang akan mampu mengusirnya dan merenggutnya dari sana. Tidak juga seorang germo. Tiang gantungan baginya adalah awal kembara di sebuah dunia lain, dunia yang tak memiliki kemunafikan, dunia kebebasan sejati dan abadi, dunia surgawi. Firdaus memahami bahwa kehidupan ini ditata oleh berbagai jaringan kepentingan. Dan anehnya, kemerdekaan perempuan—bahkan dalam menentukan dan mengelola tubuhnya sendiri—dianggap telah mengancam kekuasaan rezim politik-ekonomi dalam segala lingkup. Lingkup para germo, borjuis kecil, pangeran kaya, konglomerat, pemimpin agama, jenderal polisi, suami itu, para lelaki (dan juga perempuan) yang mengambil untung dari berjayanya sistem dominasi, mereka sungguh tidak sudi status quo-nya diganggu gugat. Lalu, apakah tiada tempat bahagia bagi perempuan merdeka di dunia ini? Tidakkah ada harapan untuk hidup lebih baik? Setiap perempuan tentu menanamkan hasrat untuk menciptakan dan merasakan kebahagian duniawi, dan saat ini semakin berkembang usaha merealisasi cita cita untuk menjadikan dunia sebagai tempat hidup yang lebih nyaman dan manusiawi bagi perempuan. Dalam kerangka itu, di seluruh penjuru dunia kini bertumbuh pribadi-pribadi, baik perempuan maupun lelaki, yang bergandengan tangan dalam karya sosial untuk merajut mimpi dan kemudian menjelmakannya menjadi sebuah kenyataan. Dan salah satu di antara mereka tak lain dan tak bukan adalah Nawal el Sa'adawi. Melalui ketokohan Firdaus, Nawal mencoba berbicara dari perspektif para korban, dengan bahasa para korban. Mengapa saya, perempuan, dipersalahkan karena saya menjajakan kemampuan yang saya miliki? Apa salahnya? Tubuh dengan segala kemampuan yang dimiliki manusia, selain merupakan media reproduksi, juga adalah alat produksi yang memiliki kemampuan seksual. Semua itu adalah modal untuk berproduksi. Karena itu, mengapa profesi sebagai pekerja seks dinilai najis, hina, dan rendahan? Apa bedanya dengan para lelaki yang menjajakan otot untuk mencari nafkah? Apakah ia berbeda dengan seorang binaragawan atau tukang becak? Lalu, apa bedanya gumpalan otot kaki dan vagina? Toh, sama sama bersifat tubuh dan menjadi bagian dari anggota tubuh. Mengapa yang lain ditabukan dan sebagian yang lain tidak? 


Mengapa sebagian boleh dijajakan dan sebagian tidak? Ini sungguh aneh. Bagi para penguasa, pertanyaan yang bernada gugatan seperti di atas sungguh berbahaya. Pertanyaan semacam itu harus dibungkam. Ia tak boleh terungkap, apalagi menyebar, karena akan mengancam tatanan "suci" yang kini sebenarnya semakin rapuh. Lihatlah sanksi bagi para penggugat itu. Mungkin nasibnya seperti Firdaus, yang dihukum mati. Bisa juga seperti Nawal, dipenjara, dikejar-kejar, diintai kawanan penjaga "keamanan" yang bersenjata. Sebuah ancaman bagi mereka yang tetap nekat menyuarakan kegundahan batinnya karena merasa diperlakukan tidak adil. Tetapi, meskipun dihadang kematian, sampai saat terakhir, para pemberani terus lahir dan bersuara menyanyikan lagu pembebasan. Suara itu tak kan berhenti. Tak kan bisa dibungkam. Apa pun ancamannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar