Jumat, 06 April 2012

Negeri Bahagia (City of Joy)


Negeri Bahagia (City of Joy)
Judul: Negeri Bahagia (City of Joy)
Penulis: Dominique Lapierre
Penerjemah: Wardah Hafidz
Penerbit: Bentang-Yogyakarta, Desember 2004.
Tebal: xv + 799 halaman
Sinopsis:
Di tengah buruknya sanitasi, ketiadaan fasilitas, Lapar (dengan L besar–sangat lapar hingga tubuh layu dan mengerut bagai buah yang mengering), serta perih pedih getir yang setiap saat harus ditelan oleh orang-orang Anand Nagar dalam kehidupan keseharian, justru di tempat inilah aura spiritualitas meraja, seperti angin alami yang berhembus di dada masing-masing penghuninya.
Ikutilah kisah Stephan Daddah (kakak) dalam menghikmati kehidupan bersama jiwa-jiwa tulus di Anand Nagar–Hasari Pal sang penarik angkong (becak yang ditarik manusia), Anouar dan penghuni rumah lepra lainnya, sampai Kalima, seorang sida-sida (kaum transvestit kasta Hijra yang berperan dalam perayaan penyambutan kelahiran bayi). Kisah ini telah menginspirasi khalayak seluruh dunia. Engkaulah cahaya dunia!
“Negeri Bahagia merupakan sebuah senandung tentang cinta, kelembutan, dan harapan.” -Florence Prouverelle, diplomat
“Ada pahlawan di setiap senti karya kasih ini … karena di lubuk penderitaan Calcutta, dia juga menemukan tawa, cinta, keindahan, dan banjir kebahagiaan spiritual.” -New York Post
“Beberapa penggal bagian dalam buku ini akan terus melekat dalam diri pembaca selamanya. Buku ini memuat pelajaran-pelajaran penting berupa ketegaran dan kehormatan, dan tentang apa yang benar-benar penting ketika hidup diperas sampai tetes terakhir.” -Washington Post Book World
RESENSI:
Kaum Rudin di Menara Babel
Johannes Sumardianta
Sastra disiplin yang membebaskan. Berbeda dengan iptek, yang cenderung mengungkung dan membatasi. Sastra jauh lebih realistis karena berurusan dengan kepercayaan, harapan, dan simpati pada kehidupan. Sastra terkait langsung dengan kemanusiaan, keperkasaannya dan kerapuhannya. Tak mengherankan, mengulang-ulang membaca karya sastra, termasuk novel Negeri Bahagia, selalu mendatangkan inspirasi baru.
Dominique Lapierre mengarang novel masyhur ini berdasarkan pengamatan mendalam selama dua tahun atas kehidupan masyarakat Anand Nagar (Negeri Bahagia). Bermodal 20 bundel catatan dan ratusan jam rekaman wawancara, ia menyusun landasan dialog dan testimoni tentang heroisme kaum tersingkir di perkampungan kumuh Kalkuta, India. Ia memulai kisah tentang migrasi besar-besaran petani miskin ke metropolis Kalkuta pada dekade 1960 hingga 1970. Tentang kelaparan yang memaksa mereka menjual darah ke bank-bank darah swasta, bahkan menjual kerangka tubuh semasa masih hidup kepada perusahaan pembuat alat peraga kedokteran yang banyak beroperasi di Kalkuta.
Anand Nagar merupakan perkampungan kumuh utama dan tertua di Kalkuta dengan kepadatan sangat tinggi. Sekitar 70 ribu manusia tumpat-pedat di slum yang luasnya tak lebih dari dua kali lapangan sepak bola. Cuaca panas, kemiskinan, pengangguran, wabah sampar, polio, kolera, tuberkulosis, malnutrisi akut, dan lepra menjalar bagai api menjilati ranting kering. Ribuan orang tidak mencapai usia 40 tahun. Pencemaran adalah pembunuh nomor satu. Udara pekat belerang dan zat asam arang. Fasilitas penerangan, medis, dan sanitasi minim.
Di Anand Nagar berlaku keutamaan India: persetan dengan kesengsaraan, asalkan bersama-sama kita menanggungnya. Hikayat kaum rudin di “Menara Babel” ini terasa indah karena orang masih punya selera humor di tengah kondisi begitu rupa. Tidak ada perkawinan keluarga bangsawan atau miliuner yang memerlukan perdebatan begitu seru seperti rencana perkawinan dua gembel di kampung kumuh ini.
Kalkuta, metropolis yang dipenuhi bercak-bercak kesengsaraan pengemis atau orang sekarat di jalanan. Dan slum dengan reputasi ringsek inilah yang menjadi purgatori (tempat api pencucian) bagi tokoh-tokoh nyata yang difiksikan Dominique Lapierre. Bipin Narendra dan Musafir Prasad, tauke rickshaw (angkong), mengurus armada secermat germo mengelola pasukan birahinya. Mereka berdua mengeksploitasi manusia kuda di antara dua kayu penghela angkong yang telah membunuh ratusan penariknya. Ram Chander dan Hasari Pal penarik angkong yang bisa mentransendensi penderitaan dan menjadikan hidup mereka teladan spiritual. Surya, pak tua Hindu, pemilik kedai teh yang bagai biduk menjadi tempat berpegangan saat orang mengalami disorientasi.
Bagaimana para penghuni Anand Nagar ngempakake dayaning urip (mengobarkan harapan), Ram Chander, bekas petani yang tidak kunjung bisa menghapus utang keluarganya di desa, bertutur: “Masih terbayang di mata bagaimana istri saya menggandeng tangan anak saya, berdiri di ambang pintu gubuk kami seraya mengusap air mata. Kami sering bicara tentang rencana kepergian dan sekarang saatnya tiba.” Ia menyiapkan sebuah ransel berisi satulonghi, kemeja, dan handuk. Ia bahkan membuat chapati dan potongan sayur-sayuran sebagai bekal perjalanan. “Ingatan mesra tentang keluarga yang berdiri di depan gubuk yang membuat saya tetap bertahan di kota bengis ini.” Suatu hari ia akan kembali ke desanya dan membuka kedai di sana. Tapi, sebagaimana nasib para penarik angkong umumnya, Ram mati dipagut radang paru-paru. Abu jenazah Ram dilarung Hasari Pal, karibnya, di Sungai Hooghly agar bermuara di lautan keabadian.
Ironi merupakan aroma dasar novel ini. Kaum paria menjadi manusia luar biasa berkat kemampuan mereka melampaui hidup yang tidak ramah, seraya mengolah dan mengironikan hidup mereka. James Scott menyebut kemampuan itu sebagai “weapon of the weak (senjata kearifan kaum rudin)”. Bukan lewat protes dengan diam atau revolusi yang biasanya memangsa orang jelata sendiri. Ironi melegakan karena memberdayakan kaum gembel untuk bisa menertawakan kenistaan. Kaum paria, mengutip Karl Rahner, teolog masyhur Jerman abad ke-20, berkat ironi bisa mencapai transendensi—dikuatkan sang adikodrati dalam pengalaman mistik konkret sehari-hari. Dominique Lapierre berhasil mengalirkan alur cerita, novel ini terasa agak melingkar akibat penggunaan teknik berkisah kilas balik. Kualitas terjemahan Wardah Hafidz amat prima. Novel ini relevan dan kontekstual dengan persoalan bangsa Indonesia yang tak putus dirundung zaman penuh kutukan.

Johannes Sumardianta, Guru SMA Kolese de Britto, Yogyakarta
Sumber:http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/04/18/BK/mbm.20050418.BK110806.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar