Sugih Tanpa Banda
Mangan Ora Mangan Kumpul 2
Mangan Ora Mangan Kumpul 2
Judul: Mangan Ora Mangan Kumpul 2: Sugih Tanpa Banda
Penulis: Umar Kayam
Edisi: Pertama
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, 1994
Tebal: 428 halaman
Harga: Rp 80.000,00
Status: NFS
***
Sinopsis:
Penulis: Umar Kayam
Edisi: Pertama
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, 1994
Tebal: 428 halaman
Harga: Rp 80.000,00
Status: NFS
***
Sinopsis:
Ingat Mangan Ora Mangan Kumpul, Sketsa-Sketsa Umar Kayam? Dalam Buku Kedua ini Umar Kayam masih lincah meloncat dari satu tema ke tema lain tanpa meninggalkan gaya penulisannya yang kenyal dan segar-menggelitik. Konsisten dengan warna lokal Jawa yang pekat, ia tidak sampai tergelincir pada kepicikan sikap primordial.
Kumpulan tulisan Kayam yang sarat kritik sosial ini secara keseluruhan tampak sebagai ironi. "Ia menampilkan masalah, menyindirnya, dan sekaligus menyindir semua pihak yang membicarakan maupun yang mencoba memecahkannya ... Namun ia tidak menjadi liar, tidak asal lain, tidak seperti yang dituduhkannya terhadap pascamodernisme." tulis Sapardi Djoko Damono.
***
Kata Pengantar:
GLENYENGAN UMAR KAYAM
Sapardi Djoko Damono
Ketika mula-mula menerima pesanan untuk rnenulis pengantar buku kumpulan kolom
Umar Kayam ini, terus terang saya agak kaget. Judul utamanya tetap, yakni Mangan
Ora Mongon Kumpul, namun ada tambahan subjudul, yaitu 'The Legend Continuous'.
Mas Kayam, begitu saya memanggilnya, ternyata - sampai pada judul pun - suka
glenyengan. Pada suatu sore akhir bulan Januari 1994, di rumahnya di Yogya, kami
ngobrol: Mas Kayam, Mbak Yus, Ibnu, dan saya. Mas Kayam mewartakan bahwa
kumpulan kolomnya yang kedua akan terbit, dan saya dimintanya untuk menulis
pengantar.
"Kamu 'kan wong Solo cekek, tentu tidak merasa sulit menghayati glenyengan saya
itu," begitu katanya dalam bahasa Jawa ngoko bergaya Solo, tentu karena masa
remajanya dilaluinya di kota itu. Pada waktu itulah saya mengusulkan agar
subjudulnya jangan sekadar Volume II, tetapi diambilkan dari subjudul sebuah
serial film Kungfu yang diputar di salah satu televisi kita. Tentu saja waktu
itu saya main-main, tetapi Umar Kayam ternyata sungguhan.
Namun, ketika sudah memulai menulis pengantar dengan memperhitungkan subjudul
itu, saya mendengar keterangan dari penerbitnya bahwa judulnya diubah menjadi
Sugih Tanpa Banda. Subjudulnya adalah Mangan Ora Mangan Kumpul 2. Konon Umar
Kayam ragu-ragu menggunakan subjudul pinjaman dari film Kungfu itu, khawatir
jangan-jangan nanti ada masalah hak cipta. Tetapi mungkin juga ia berpikir,
penggunaan subjudul dari film Kungfu itu sudah melewati batas glenyengan, sudah
norak, sudah kampungan - juga mungkin sudah ngepop. Pemilihan judul yang baru
itu jelas menunjukkan bahwa Umar Kayam ingin bertahan pada konvensi glenyengan.
Tetapi, apa sesungguhnya glenyengan itu? Mengapa kolom Umar Kayam ini, yang
mula-mula ditulis khusus untuk koran Kedaulatan Rakyot di Yogya, disebut
glenyengan?
Glenyengan adalah suatu cara. Nasihat, sindiran, protes, usul, dan sebagainya
tentu bisa disampaikan dengan berbagai cara. Bisa dengan cara resmi, bisa dengan
teriak-teriak turun di jalan, bisa dengan pidato berapi-api, bisa dengan
bisik-bisik. Bisa juga dengan ringan, bercanda, dan tidak ngotot; sangat sering
secara tidak langsung. Cara yang disebut terakhir itulah glenyengan, cara yang
jelas 'culture bound', peka budaya, yang melekat pada kebudayaan tertentu, dalam
hal ini Jawa. Itulah sebabnya dalam kumpulan kolom ini yang menjadi pengikat
bukan tema tetapi cara penyampaiannya. Dari segi tema, Urnar Kayam memiliki
kebebasan untuk bergerak ke sana ke mari, dari dapur rumahnya sampai ke
Canberra, dari pengamen sampai profesor. la pun merasa bebas untuk di suatu
kolom memberi nasihat, di kolom lain melancarkan protes, dan di kolom yang lain
lagi menyindir kita.
Cara yang dipilih Umar Kayam ini memang peka budaya: itu sebabnya pemuatannya di
Kedaulatan Rakyat bukan suatu kebetulan, tetapi hampir bisa dikatakan merupakan
satu-satunya kemungkinan pilihan. Seandainya di Solo ada koran yang kuat,
mungkin bisa menjadi kemungkinan pilihan lain. Tetapi saya meragukan kolom
semacam ini bisa dengan aman selama bertahun-tahun dimuat di sebuah koran
Purwokerto atau Surabaya, daerah-daerah yang juga masih mempergunakan bahasa
Jawa sebagai bahasa sehari-hari, tetapi yang memiliki subkebudayaan yang sedikit
berbeda dibanding dengan Solo atau Yogya.
Dan tentu tidak terbayangkan kolorn ini dimuat di koran Medan atau Denpasar. Ini
menunjukkan bahwa khalayak yang tersirat dalam kolom ini adalah orang Yogya dan
Solo, bukan terutama karena banyaknya kosakata Jawa di dalamnya, tetapi karena
sifat glenyengan itu.
Dan khalayak pembaca itu tampaknya masih harus dibatasi lagi, yakni lapisan yang
sedikit banyak memahami bahasa(-bahasa) asing, sebab Umar Kayam ternyata juga
merasa bebas ke sana ke mari dalam penggunaan bahasa. Pada dasarnya Umar Kayam
adalah tukang cerita; wajarlah jika rangkaian kolomnya meminjam bentuk cerita
rekaan. Ada juru kisah yang sekaligus juga menjadi tokoh, ada beberapa tokoh
lain yang selalu muncul, ada rangkaian peristiwa, dan ada setting atau latar
yang jelas. Dalam struktur semacam itulah ia menyatakan reaksi, sikap, dan
tanggapannya terhadap berbagai masalah.
Latar yang dominan dalam kumpulan kolom ini adalah tempat tinggal si juru kisah,
dan ini menjadikan kolom-kolom itu mirip drama domestik. Dan ini juga berarti
bahwa sejumlah masalah "besar," nasiona! dan internasional, sudah menjadi
domestic affairs, atau domesticated, yang bisa berarti dijinakkan. Mister Rigen
dan anak-istrinya tergolong domestic, yakni pembantu rumah tangga. Dan itu
merupakan salah satu unsur penting dalam glenyengan sebagai cara pengungkapan.
Juru kisah kolom ini membayangkan dirinya sebagai "priyagung pemerintah pusat"
yang lengser keprabon, alias meninggalkan tugas, sekitar dua dasawarsa yang
lalu. Priyagung adalah lapisan atas dalam masyarakat Jawa, dan fungsinya baru
jelas jika di sekelilingnya ada wong cilik. Cara pengungkapan yang dipilih Umar
Kayam memang mensyaratkan kehadiran wong cilik, sebab glenyengan baru terasa
kekhasan dan daya gunanya hanya jika berlangsung antara priayi dan wong cilik.
Ini sekaligus mengisyaratkan adanya suatu paradoks dalam kebudayaan Jawa: di
satu pihak menarik garis batas (yang sering sangat tegas) antara priayi dan wong
cilik, di lain pihak mensyaratmutlakkan "persamaan derajat" antara keduanya
dalam setiap segi keberadaan kebudayaan itu. Ini menunjukkan bahwa glenyengan
akan terasa fungsinya jika berlangsung antara dua lapisan sosial itu, meskipun
bisa saja terjadi di kalangan satu lapisan sosial saja.
Dalam salah satu adegan wayang Jawa, yang disebut goro-goro, para punakawan
biasanya membicarakan berbagai masalah dengan cara glenyengan. Dalam adegan itu,
masalah yang tampil tidak hanya yang berkaitan dengan dunia wong cilik, tetapi
juga dunia politik nasional maupun internasional - misalnya hubungan
antarkerajaan. Bahkan para punakawan itu, yang jika dipandang dari satu sisi
mewakili wong cilik, sering menafsirkan masalah utama yang merupakan tema pokok
cerita wayang yang sedang digelar.
Mereka lakukan hal itu bagi khalayak yang termasuk lapisan bawah, sebab yang
disebut terakhir ini tentu mengalami kesulitan memahami dan menghayati tema yang
tersirat dan tersurat dalam bahasa Jawa yang tidak jarang muluk-muluk, yang
dipergunakan oleh para priyagung yang menokohi wayang. Dengan cara glenyengan,
cara penyampaian ringan dengan bahasa yang bisa dipahami orang ramai, diharapkan
khalayak lapisan bawah itu bisa menangkap dengan baik masalah yang menggerakkan
cerita.
Tetapi, seperti sudah disinggung, glenyengan baru berfungsi dengan baik jika
melibatkan priayi dan orang kecil. Beberapa adegan dan jejer dalam wayang
menunjukkan hal itu. Dalam adegan putri yang berlangsung di ruang khusus bagi
putri dalam keraton, para punakawan, emban, putri, dan mungkin juga ksatria
membicarakan berbagai masalah dengan cara glenyengan. Dalam jejer pandhita atau
jejer pertapan, yang berlangsung di pertapaan seorang pendeta yang terletak jauh
dari keramaian, para punakawan bisa berdialog dengan sang pendeta, ksatria, dan
cantrik.
Dalam adegan dan jejer semacam itu, orang kecil mempunyai derajat yang sama
dengan priayi; dalam beberapa hal bahkan berlaku konsep vox populi vox dei,
suara rakyat itu suara dewa. Wayang Jawa menegaskan hal itu dengan menyatakan
bahwa Semar adalah dewa yang dibebani tugas turun ke dunia untuk mengasuh sang
protagonis agar tidak berbuat kekeliruan dalam tindakan dan pikirannya.
Demikianlah, maka Mister Rigen serta istri dan dua anaknya, yakni Nansiyem,
Beni, dan Septian adalah punakawan dan embon; mereka itu adalah wong cilik yang
suaranya harus didengarkan baik-baik. Mereka itu merupakan syarat bagi
kelangsungan kebudayaan kita, dan dengan segala cara berusaha untuk menegaskan
keberadaannya. Dalam salah satu kolom yang berjudul "Reuni dengan Para Wong
Cilik...," digambarkan perdebatan antara Pak Ageng, yakni juru kisah, dan
beberapa wong cilik; dalam narasi diungkapkannya antara lain:
Saya manggut-manggut. Tahu kalau saya sudah berada di tengah kebudayaan batur
Jawa. Yaitu kebudayaan ngeyel. Tetapi, tanpa budaya ngeyel itu bagaimana mereka
bisa mempertahankan posisi mereka di tengah kami kaum intelektual yang menguasai
semua wacana, discourse, kehidupan Jawa modern? . . Maka di samping sebagian
besar waktunya itu dihabiskan untuk mengucapkan "nun inggih, sendiko" agar tetap
bisa kagem atau terpakai oleh sang majikan, untuk mempertahankan exist-nya
sebagai manusia, ya tinggal ngeyel itulah! Kalau bisa eyelan itu yang masuk
akal, kalau tidak ngeyel yang tidak masuk akal pun boleh juga. Kalau saya
hitung-hitung, proporsi eyelan Mister Rigen antara yang masuk akal, dan yang
tidak masuk akal itu kira-kira ya 30% masuk akal, sedang yang 70% ya yang tidak
masuk akal itu. Tetapi anehnya juga, yang tidak masuk akal itulah yang selalu
mengagumkan! Di situ jelas kelihatan daya kreasi Mister Rigen. Penuh fantasi
yang liar, yang wild, unsur terpenting kreasi dalam jaman pos
t-modernism, pascamodern, itu. Pokoke, pokoknya, ngeyel yang aneh-aneh,
neka-neka, waton sulaya.
Batur artinya pembantu rumah tangga; bisa juga berarti teman. Dan memang, dalam
konsep Jawa, pembantu rumah tangga adalah teman yang diperlukan untuk melakukan
berbagai tugas dan diajak berembug untuk membantu memecahkan masalah.
Ngeyel artinya ngotot mempertahankan pendirian, keras kepala, kepala batu;
konsep batur ngeyel ini jelas milik priayi, yang berpikir bahwa ia lebih tahu
mengenai segala hal daripada wong cilik. Namun, bantahan yang sering ngawur
itulah justru ytang mengagumkan, yang tentunya juga diperlukan. Wong cilik dan
eyelan-nya itu memang bagian yang tak terpisahkani dari dunia priayi, bagian
yang diperlukan, bagian yang memberikan kebahagiaan.
Demikianlah, maka salah seorang wong cilik, yakni Pak Joyo penjual ayam
panggang, berdialog dengan Pak Ageng mengenai anak-anak Mister Rigen yang selama
Pak Ageng pergi ke luar negeri tidak pernah bisa makan sate. Kutipan ini diambil
dari kolom yang sama.
"Lho, saya rak pergi lama to, Pak Joyo. Bagaimana saya bisa membelikjan
thole-thole itu sate usus?"
"Ha enggih, niku, Pak Ageng. Ponjenengon rak bisa meninggali uang yang cukup
selama dua bulan buat sate usus itu!"
"Eeh, begitu to Pak Joyo. Jadi ada begroting sate usus untuk bedhes-bedhes itu,
to, Pak Joyo?"
"Meskipun bedhes-bedhes rak ada gunanya, to, Pak Ageng?"
"Misalnya?"
"Elho, Pak Ageng ini kados pundi, to? Bedhes-bedhes itu tugasnya rak untuk
melengkapi rumah tangga panjenengan, to, Pak Ageng. Tanpa mereka alangkah
sepinya hidup Pak Ageng."
Thole dan bedhes adalah panggilan akrab untuk anak-anak, meskipun sebenarnya
thole berarti kelamin laki-laki dan bedhes sebangsa monyet kecil. Juru cerita
kolom ini, Pak Ageng, membayangkan dirinya seorang priyagung, bahkan raja Jawa,
yang dikelilingi oleh sekumpulan wong cilik yang merupakan bagian dari
kebahagiaan hidupnya. Dalam situasi semacam itu ia menerima kenyataan bahwa
ternyata wong cilik-lah yang memiliki wisdom. Dalam konteks budaya yang
demikianlah kolom ini ditulis.
Untuk siapa? Pembaca tersirat kolom ini tentu bukan wong cilik, tetapi kaum
intelektual, para priayi masa kini yang memahami fungsi kolom dalam media cetak.
Penggunaan berbagai konsep, ungkapan, dan istilah bahasa asing jelas
mengeluarkan wong cilik dari kalangan pembacanya - tentunya jika wong cilik masa
kini diartikan sebagai lapisan masyarakat yang oleh bangsa Inggris disebut
'uncultured' atau 'unlettered', yang tidak mampu menghayati kebudayaan
adiluhung.
Demikianlah maka kolom ini berbeda dari goro-goro wayang kulit Jawa; kolom ini
tidak lurus, tetapi bengkok. la ironi. la menampilkan masalah, menyindirnya, dan
sekaligus menyindir semua pihak yang membicarakan maupun yang mencoba
memecahkannya; ia pun menyindir sang juru cerita.
Namun ia tidak menjadi liar, tidak asal lain, tidak seperti yang dituduhkannya
terhadap pascamodernisme. Pemilihan judul kumpulan ini pun menunjukkan suatu
sikap yang boleh dikatakan positif terhadap nilai-nilai yang ada dalam
kebudayaan Jawa. Buku pertama berjudul Mangan Ora Mangan Kumpul; sekarang
diganti menjadi Sugih Tanpa Banda (Kaya Tanpa Harta).
Umar Kayam bergerak dari satu paribasan (peribahasa) ke poribasan lain; jika
dalam judul buku pertama kumpulan kolom ini tersurat adanya niat orang Jawa
untuk lebih mementingkan hidup bersama-sama dengan keluarga besarnya daripada
cerai-berai mencari nafkah, maka judul buku kedua ini menunjukkan nilai-nilai
lebih tegas yang paradoksal, salah satu cara khas yang sering ditempuh orang
Jawa untuk menegaskan keyakinannya.
Membaca kolom Umar Kayam, saya selalu teringat pada novel Jawa yang sangat
memikat, yakni karya Hardjowirogo, Srikuning (Balai Pustaka, 1950), yang
mempergunakan bahasa Jawa yang sangat indah, yang hampir setiap kalimatnya
adalah ironi, untuk tujuan yang sama. Mirip dengan Hardjowirogo, Umar Kayam
tidak memilih sikap dan cara yang pahit, yang menyakitkan, atau yang penuh
kemarahan. la mengajak kita untuk tidak norak; ia menggoda kita untuk ikut
glenyengan.
Depok, Juni 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar