Judul Buku : Mangan Ora Mangan Kumpul
Penulis : Umar Kayam
Pengantar : Goenawan Mohamad
Penerbit : Grafiti, Jakarta, cet.V, 1995
Tebal : 458 hlm
Status: NFS
Status: NFS
****
Sinopsis: Di kemas dalam gaya seloroh, nakal dan santai kumpulan kolom Umar Kayam ini, mencuatkan sesuatu yang transendental. Teknik penulisannya pun, uniknya, mengingath kita pada Obrolan Pak Besut di RRI Yogyakarta dahulu menghadirkan sejumlah tokoh tetap, dan_ mengikat ”alur cerita” dengan warna lokal yang kental. Jika kemudian warna lokal Jawa yang agaknya harus dilihat lebih sebagai alat menyampai, kearifan dalam memandang kehidupan. Baginya, hidup adalah harmoni, dan tidak selalu hitam-putih.
Komentar Goenawan Mohamad, “Hidup, seperti yang tersirat dari tulisan Umar Kayam ini, tidak bisa dilihat secara ekstrem , banyak problem, tapi kita masih bisa selalu betah karena hidup tak pernah jadi proses yang soliter
****
Resensi:
Sayur asem, wong cilik, dan …
Susanto Pudjomartono
Sayur asem, wong cilik, dan …
Susanto Pudjomartono
Umar Kayam dikenal punya pergaulan luas. Kenalannya dari kalangan atas sampai mbok-mbok penjual gudeg lesehan di Yogya. Gaya hidup guru besar UGM ini sungguh nyeniman. Pengalamannya juga sangat luas. Ia pernah menjabat Dirjen Radio, Televisi, dan Film Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan Ketua Dewan Film Nasional. Ia pernah berperan dalam beberapa film, antara lain Karmila, Yang Muda yang Bercinta, dan sebagai Bung Karno dalam Pengkhianatan G30S-PKI. Mungkin karena itu tulisan-tulisannya terasa “kaya” dan enak dibaca. Penuh humor, tapi berbobot.
Cerpennya, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan memenangkan cerpen terbaik majalah Horison (1968). Kolom-kolomnya tersebar di berbagai media, dan bisa membahas banyak hal, dari profil almarhum Rusman, “Gatotkaca Sriwedari”, sampai kebiasaan mudik di waktu Lebaran. Namun, yang luput dari perhatian banyak orang — kecuali orang Yogya yang membaca koran Kedaulatan Rakyat — adalah kolom-kolom mingguannya yang dimuat di koran terbitan Yogyakarta itu.
Selama sekitar dua setengah tahun, sejak Mei 1987 hingga Januari 1990, ia telah menulis 127 sketsa. Sketsa-sketsa itu kini go public, setelah diterbitkan dalam buku ini, hingga bisa dinikmati publik yang lebih luas. Karena tugasnya, selama bertahun-tahun, Kayam tinggal di Yogya, sedang keluarganya ada di Jakarta. Sekali seminggu, Kayam “mudik” ke Jakarta. Seting Kayam yang tinggal dalam dua rumah, dalam dua “dunia” yang berbeda, Yogya dan Jakarta, inilah yang melatarbelakangi hampir semua sketsa yang ditulisnya. Mungkin karena menulis sketsa kehidupan, Kayam menulis tanpa beban dan pretensi apa-apa. Ia bagaikan tak peduli dengan tema, gaya bahasa, atau message tulisan.
Dalam sejumlah sketsa, ia bahkan mirip ngudarasa, alias thinking aloud. Akibatnya, tulisannya enak, mengalir. Istilah dan ungkapan Jawa, Inggris, Belanda, atau asing lainnya, dipakainya sak enak udele dewe, seenaknya. Sepertinya ia tak takut kuwalat karena, misalnya, sengaja memakai “semangkin”, bukan “semakin”. Atau mengindonesiakan sejumlah istilah asing, seperti hensem ( handsome), plin (lane), atau pangrok (punkrock). Dan rasanya, di tulisan Kayam, semua itu tak terkesan “merusak”, malah pas. Ia membahas apa saja yang dilihat, didengar, diingat, atau dirasakannya. Dari soal sayur asem, kena flu, patriotisme, warung kopi di Singapura, sampai kampanye pemilu.
Tokoh-tokoh sentral dalam tulisannya adalah personifikasi tokoh-tokoh yang dikenalnya dengan dekat. Ada Mr. Rigen (mirip nama Presiden AS Ronald Reagan, kan?), pembantunya yang berasal dari Desa Pracimantara, Wonogiri. Lalu istri Rigen. Ms. Nansiyem (Nancy Reagan?), dan anak mereka, Benny Prakosa. Kemudian ada Pak Joyoboyo, penjaja ayam panggang keliling. Kayam sendiri “berperan” sebagai Pak Ageng, sang bos. Terutama lewat Rigen dan Joyoboyo ini muncul sisi-sisi pemikiran wong cilik yang mungkin sering kita lupakan atau kita remehkan. Misalnya, bagaimana Rigen yang cuma lulusan SD tak bisa mengerti mengapa untuk mengarak api PON saja dihabiskan dana Rp 1 milyar. Seandainya saja uang sebanyak itu untuk membangun sumur di Pracimantara yang tandus….
Lewat ucapan “filsuf-filsuf Jawa” Mr. Rigen dan Joyoboyo inilah Kayam membuat kita merenung, terkadang menertawakan diri sendiri, betapa (mungkin) zaman telah mengubah kita, dan betapa tidak berubahnya sebagian di antara kita. Di tengah menderunya mesin pembangunan dan gemerlapnya modernisasi, mungkin kita akan tertegun mendengar kata-kata Pak Joyoboyo: “Saya tak ingin kaya, hanya ingin sekedar hidup.” Atau ucapan Rigen yang terheran-heran ketika ditanya apakah ia bahagia. “Menderita itu sudah nasib orang kecil, ya diterima saja,” katanya.
Lewat sketsa-sketsa ini Kayam telah menggugah nurani kita. Itu dilakukannya dengan halus, penuh humor, tanpa membuat orang marah. Ia menyenggol banyak hal, termasuk ekses-ekses pembangunan, tanpa membuat kening mengernyit. Yang juga penting, lewat tulisan-tulisan ini Kayam telah mencatat dan merekam perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat. Seperti kata Goenawan Mohamad dalam Kata Pengantar buku ini, Mangan Ora Mangan Kumpul akhirnya adalah “rekaman, juga komentar, tentang masyarakat Jawa yang sedang dalam peralihan”. Dan Kayam tutur Goenawan lagi, “memberikan kearifan dalam memandang hidup.”
Sayangnya, karena memang ditulis untuk publik Yogya, sketsa-sketsa ini paling bisa dinikmati oleh orang Yogya, atau yang pernah mengenal Yogya. Banyak sekali nama, istilah, ungkapan, atau kutipan dalam bahasa Jawa (Yogya). Toh itu tak mengurangi nilainya. Buku ini tak kalah berharganya dibanding Social Changes in Yogyakarta karya Prof. Selo Soemardjan yang terkenal itu. (Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar