Sabtu, 31 Maret 2012

Burung-Burung Manyar


Burung-Burung Manyar
Penulis : Y. B. Mangunwijaya
Penerbit : Djambatan
Tebal : 320 halaman
PRESTASI: Meraih SOUTH EAST ASIA WRITE AWARD 1983
*****
SINOPSIS
Ditulis oleh Pastur karismatik YB. Mangunwijaya, Burung-burung Manyar adalah roman yang berkisah tentang kehidupan manusia yang terlibat dalam peperangan, baik fisik maupun batin. Telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, diantaranya Inggris dan Belanda, roman ini mendapat apresiasi yang luar biasa dari para kritikus sastra, dan mengukuhkan Romo Mangun sebagai salah satu novelis Indonesia yang dikenang sepanjang masa. Di kancah internasional, novel ini memenangi penghargaan South East Asia Write Award 1983.
“Pengarang Burung-burung Manyar ini memperlihatkan pengetahuan dan pengalaman yang banyak serta pengetahuan tentang manusia yang mendalam. Nadanya di sana-sini humoristis, kadang-kadang tajam mengiris. Bahasanya segar dan gurih, ngelothok, kontemporer. Isinya penuh pengalaman dahsyat, keras dan kasar, namun juga romantik penuh kelembutan dan kemesraan.”—HB. Jassin, Paus Sastra Indonesia
“Sastra besar selalu menghimbau angan-angan kita untuk bergerak dengan leluasa di dalam ruang jagatnya. Untuk menemukan makna bagi kehidupan kita sendiri. Dan Burung-burung Manyar telah sanggup memberikan makna itu.”—Subagio Sastrowardoyo, sastrawan

“Gaya bercerita YB. Mangunwijaya sedemikian khas, bahasanya hidup dan mampu membawa pembaca ke alam pikiran sang tokoh. Lembaran sejarah dibuka kembali, dengan titik pandang yang hingga saat ini jarang ditemukan dalam sastra Indonesia…”—Marianne Katoppo, jurnalis, penulis.
“Dengan bahasa yang khas “mangun wijaya”, novel ini penuh kelucuan dan sarat sindiran. Mengungkap kepalsuan dan sekaligus jatidiri manusia, Burung-burung Manyar ini ditutup dengan kesimpulan yang kaya makna, yang tak layak dikemukakan lain daripada apa yang tertulis dalam bukunya.”—Parakitri T. Simbolon, penulis


Resensi:

Subagio Sastrowardoyo. 

KALAU kesusastraan boleh dianggap mencerminkan kehidupan, maka di dalam karya sastra yang besar kehidupan itu terbayang dengan beragam dan penuh. Seperti di dalam kehidupan yang nyata, di dalam karya sastra demikian susahlah menunjukkan dengan tepat, mana tema yang mengandung inti masalah yang mengalirkan semua kejadian. Kejadian-kejadian itu bersegi dan berseluk-beluk seakan-akan tidak menuruti pola tertentu. Tetapi bagaimanapun juga tetap terasa bersumber pada ilham pikiran yang pokok. 


Burung-burung Manyar karangan Y. B. Mangunwijaya, 52 tahun, dapat dimasukkan kategori roman percintaan. Di dalamnya ditonjolkan kisah cinta antara kedua tokoh utamanya, Teto dan Atik. Dapat juga karya itu digolongkan roman sejarah. Sebab, dengan jelasnya mempertalikan kejadian-kejadian dengan zaman perjuangan kemerdekaan, dan Teto berperan sebagai serdadu KNIL. Barangkali dapat juga disebut roman itu bertendens kritik sosial dengan menunjuk pada kecaman Teto, atau pengarangnya sendiri, terhadap tingkah-laku bangsa Indonesia yang kurang senonoh. Atau mungkin juga kita menamakannya roman filsafat dengan melihat kepada kesim, pulan-kesimpulan pikiran Atik mengenai determinisme dan kemauan bebas. Berbau Jepang Tapi setiap kali kita mencoba memasukkannya ke dalam kategori-kategori yang ada atau mengenakan kepadanya pensifatan-pensifatan yang khusus, kita cenderung salah raba. 


Kehidupan di dalam roman Mangunwijaya ini menampilkan berbagai segi pengalaman dan arah pikiran, yang masing-masing menuntut perhatian. Toh, setelah kita berhasil menyibakkan gelombang kejadian-kejadian yang beriak-riak itu, maka kita akan mendapatkan lubuk cerita. Pada intinya roman ini ternyata berpangkal pada suatu archetype, suatu acuan purba cerita yang berulang muncul sebagai tema sastra. Tema itu berasal dari sebuah tamsil dalam surat Injil tentang anak yang mursal. Ia telah meninggalkan rumah orangtuanya dan membuang-buang harta kekayaannya di rantau. Tetapi ia akhirnya sadar akan perbuatannya yang salah dan kembali ke kampung. Ayahnya menyambutnya dengan acara penghormatan yang melimpah. Sebab, menurut tamsil itu, orang yang berdosa dan kemudian tobat patut diterima dengan rahab dan sukacita, bahkan juga surga akan terbuka baginya. 


Di dalam Burung-burung Manyar anak mursal itu adalah Setadewa, dengan nama panggilan Teto atau Leo. Pada bagian roman akhir Teto sendiri mengakui, bahwa dia anak mursal "yang lari dari rumah." Sebelum sadar akan perbuatannya yang salah, Teto dengan suka rela masuk tentara kolonial Belanda, KNIL. Ia memerangi bangsanya sendiri yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan kembali pemerintahan Belanda. Pilihan Teto untuk berpihak pada musuh didorong oleh bencinya pada segala yang berbau Jepang -- termasuk pemimpin dan rakyat Indonesia yang dilihatnya membantu dan kerjasama dengan pemerintahan militer Jepang. Ia ingin membalas dendam. Bapaknya yang tertangkap oleh Kenpeita/tidak kembali. Dan ibunya terpaksa mau menjadi gundik opsir Jepang, untuk mencegah suaminya jangan dihukum bunuh. Dendam dan benci itu justru menjadi pangkal penderitaan batin Teto selama perang kemerdekaan. 


Karena berada pada pihak Belanda, dia tidak dapat melangsungkan pertalian cintanya dengan Larasati atau Atik. Wanita ini berjiwa nasionalis dan menjadi pembantu khusus Perdana Menteri Syahrir. Pertarungan dalam diri Teto antara benci kepada bangsanya sendiri dan cintanya kepada seorang wakil dari bangsa itu, menyebabkan dia makin merasa penasaran dan berbuat kalap. Memang, berbagai situasi di dalam suasana perang itu mengingatkan dia akan kebenaran cita-cita perjuangan bangsa Indonesia. Tetapi desakan hendak membalas dendam masih meneguhkan pendiriannya yang cenderung goyah. 


Lebih Luas & Dalam 


Sementara Atik, di tengah kesibukannya membantu perbekalan di garis depan, sering tercenung dalam perenungan. Dia sadar, kekasihnya terlalu terjerat oleh gagasan abstraksi tentang yang disebut penguasa Jepang, pihak Belanda atau bangsa Indonesia. Kesalahan harusnya dilemparkan kepada individu yang berbuat keji, bukan kepada bangsa. Atik pun kehilangan bapaknya -- tertembak oleh kapal terbang Belanda. Tetapi ia tidak menaruh benci kepada bangsa itu. Tambahan lagi, pertikaian manusia yang sedang berlaku di negerinya diharapkannya jangan bertujuan kalah atau menang. Melainkan, harmoni, keselarasan. Perkelahian dan perbantahan seharusnya teremban dalam cinta. Dengan demikian akan berlangsung dialog, bukan dialektika. 


Cerita roman ini disangkutkan pada peristiwa sejarah yang kongkrit dan faktual. Yakni, perjuangan senjata dan diplomasi antara bangsa Belanda dan Indonesia di zaman perang kemerdekaam Kemudian, pada suasana kehidupan yang sungguh ada di zaman kemerdekaan. Cuma kejadian-kejadian lebih banyak berlangsung dalam alam pikiran dan batin tokoh-tokohnya. Peristiwa-peristiwa permukaan, seperti serbuan tentara Belanda ke Yogya atau adegan-adegan percakapan rupanya hanya berfungsi sebagai pencetus saja bagi terbitnya berbagai gagasan, kenangan dan renungan. Gayanya mendekati gaya Armijn Pane dalam roman Belenggu. Tetapi Burung-burung Manyar mempunyai daya lintas pikiran lebih luas dan dalam. 


Di dalam roman ini bukanlah pertikaian suami-istri dalam semacam perang perlawanan seks yang kita ikuti gaungnya da lam kehidupan batin para anggota rumah tangga itu. Melainkan peristiwa perang bersejarah dan kondisi goyah bangsa yang baru merdeka, yang hendak dicerna maknanya oleh tokoh-tokoh utama yang terlibat di dalamnya. Masing-masing kepada bangsanya. Hakikat kemenangan dan kekalahan. Masalah situasi yang mengharuskan, dan kebebasan memilih. Pertalian ikatan kolektivitas dan kepentingan pribadi. Perbedaan antara kuantitas dan kualitas kehidupan. Makna seksualitas dan penjagaan keturunan. Perihal kegagalan dan kelestarian. Gagasan-gagasan mereka menyentuh pertanyaan-pertanyaan dasar kehidupan di balik kejadian-kejadian khusus yang mereka hadapi. 


Berdarah Indo 
Menarik adalah bentuk aku yang dipakai pengarang dalam bab-bab yang memusatkan perhatian pada tokoh Teto -- seakan-akan untuk menegaskan keakuannya yang menonjol. Sedang dalam bab-bab yang mengenai tokoh-tokoh lain dipergunakan bentuk dia dan mereka. Rupanya untuk menyarankan kepada ikatan kolektivitas masyarakat yang berhadapan dengan Teto, yang mursal. Perang batin dalam diri Teto baru mendapat penyelesaian kemudian di zaman merdeka, waktu ia mendapat kesempatan menengok ke Yogya dan bertemu dengan Atik. Di dalam karya sastra yang bernilai hampir tidak kentara batas tegas antara lambang dan bukan lambang. Gejala-gejala dapat berdiri sendiri dan berperan sebagai unsur dalam kesatuan cerita. Tetapi bisa sekaligus menyaran untuk ditafsirkan lebih dalam daripada yang nampak pada permukaan. 


Pencarian Teto kepada Papi dan Maminya memanglah bagian dari alur cerita. Tetapi di balik itu menunjuk kepada makna pencarian pada identitas dirinya. Ayahnya adalah seorang bangsawan Jawa yang mengharapkan kembalinya kekuasaan pemerintahan Belanda. Ibunya berdarah Indo, jadi tak sepenuhnya Indonesia. Orang tuanya yang hilang dan dicali itu akan memberinya jawaban tentang identitasnya yang sebenarnya. Juga kata-kata ibunya yang diulang-ulang waktu dirawat di rumah sakit jiwa: "Ya, segala telah kuberikan. Tetapi mereka mengingkari janji." Kata-kata itu boleh ditafsirkan sebagai penyesalan terhadap orang Jepang yang tidak mau menyelamatkan Jiwa suaminya, sesudah la menyerahkan dirinya sebagai gundik. Tetapi boleh juga berarti gugatan kepada Teto yang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak mau menyatu dengan bangsanya sendiri. Atau juga tuduhan terhadap bangsa Indonesia yang tidak mau memperbaiki kualitas kehidupannya setelah diberi infusi budaya Eropah. 


Lambang-lambang cenderung punya makna berganda. Sebagai Jembatan Pun nama-nama dalam roman ini menyaran kepada makna yang lebih dalam. Nama Kramat, baik bagi tempat tinggal Atik di Jakarta maupun bagi tempat rumah sakit jiwa ibunya di Magelang, memaksa kita berspekulasi tentang arti nama itu. Bagi Teto rupanya kedua tempat itu sama "keramat" artinya bagi petualangannya mencari keteduhan rumah bagi jiwanya. Juga nama Verbruggen, komandan Teto dalam KNIL. Nama itu memberi perlambangan kepada tugasnya sebagai jembatan atau brug (Belanda) di dalam pencarian jejak ibu Teto, juga jembatan bagi pengertian antara jiwa Bclanda dan Indonesia. Lalu bukankah nama Larasati mencerminkan cita-cita wanita itu yang menghendaki harmoni atau keselarasan? Arti harafiah Setadewa adalah Dewa Putih. Rupanya nama itu petunjuk bagi keradikalannya yang tulus dalam mempertahankan yang dianggapnya benar. Dan juga sebagai jiwa luhur orang yang sudah tobat, dan surga pun terbuka baginya. 


Karya sastra yang besar selalu menghimbau angan-angan kita untuk bergerak dengan leluasa di dalam ruang jagatnya. Untuk menemukan makna bagi kehidupan kita sendiri. Burung-burung Manyar telah sanggup memberikan makna itu. 

Burung manyar versi hunter

Leila S. Chudori 


SAMBIL memandang rekannya, Mbok Naya bertanya-tanya dalam hati, " ... bukankah enam tujuh tahun hidup bersama dengan seorang Arjuna sudah tergolong ketiban ndaru, artinya dijatuhi anugerah kemujuran hidup? Kalau dibandingkan dengan suami Mbok Naya sendiri, yang bentuknya seperti Togog loakan itu, pastilah Mbok Ranu tidak punya hak untuk mengeluh setarikan napas pun. Itu kalau memang ia wiratama Jawa sejati yang sudah pernah diajar orangtuanya tentang sikap sumarah, bakti kepada raja, suami, dan segala yang di atas kita." 


Sebenarnya, ini bukan alinea utama dalam Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya. Pembicaraan dari hati ke hati antara Mbok Naya dan Mbok Ranu itu hanya sebagian kecil dari novel yang mendapatkan South East Asia Writers Award tahun 1983. Nah. Bayangkan dialog wong cilik itu di dalam bahasa Inggris. Tentu bukan pekerjaan yang mudah bagi Thomas Hunter, 44 tahun, untuk memindahkan 261 halaman karya novelis ini ke dalam bahasa Inggris. Namun, karena doktor Universitas Michigan ini mengaku merasa begitu dekat dengan pribadi tokoh utamanya, Setadewa, ia mencoba mengatasi kesulitan itu. 

Dengan sponsor Institut Australia-Indonesia, The Weaverbirds yang diterbitkan oleh Yayasan Lontar itu diluncurkan dengan kemasan dan desain luks setebal 309 halaman. Maka, jika Anda membuka beberapa halaman pertama, tempat kedua wong cilik tadi berbincang, Anda tak akan menemui perumpamaan wajah suami Mbok Naya yang serupa dengan wajah Togog. Hunter -- dengan kebebasan penuh yang diberikan Mangunwijaya -- menerjemahkan Togog menjadi the second-rate clown (badut kelas dua). Padahal, Togog adalah nama seorang tokoh. Lalu, ingat, betapa lincahnya Teto kecil bercerita tentang kegagahan bapaknya. "Sempurna dah! Asal Anda jangan melihat wajah beliau. Benar-benar Jowu deh. Kayak penyapu pupuk-andong dari Khemeente Makhelang ...." Di Weaverbirds, kalimat bandel ini berubah menjadi "A sight of un- adulterated perfection! That is, as long as you didn't look at his face. Because, no getting around it, he had a quintessential Javanese look. He had, you know, the face of a streetsweeper ...." 

Memang tidak mudah menerjemahkan kalimat-kalimat yang terdiri dari berbagai bahasa ke dalam satu bahasa. Dan mungkin itu sebabnya tak mudah pula ketika beberapa tahun silam Harry Aveling menerjemahkan karya Umar Kayam dengan baik. Mangunwijaya memang tak perlu kecewa betul. "Terjemahan karya sastra memang tidak ada yang sempurna, pasti ada saja lukanya," ujar Mangunwijaya kepada Ajie Surya dari TEMPO. 

Dan hilangnya nuansa-nuansa lokal tadi memang hampir tak terelakkan. Jadi, Hunter belum sampai membuat luka yang bakalan membuat pembaca membuang buku itu sebelum selesai. Sayangnya, Hunter menolak untuk menggunakan catatan kaki dan lebih suka memberi keterangan langsung. Padahal, barangkali cara yang efektif untuk memperkenalkan tokoh-tokoh wayang tanpa merusak kalimat dialog adalah dengan menggunakan catatan kaki. Selain terdapat tiga halaman glosari, Hunter juga suka menggunakan keterangan langsung di tengah-tengah kalimatnya. Misal- nya "That everyone has within them a little of the Pandawa and a little of the Kurawa, a little good and a little evil." 

Jadi, daripada memberi catatan kaki penjelasan tentang Pandawa dan Kurawa, Hunter memilih untuk memberi penjelasan tambahan dalam dialog itu bahwa Pandawa adalah kebaikan dan Kurawa adalah kejahatan. Bagi Mangun, 62 tahun, itu agak mengganggu. Tapi ia mengakui bahwa apa yang dilakukan Hunter adalah jalan yang dianggap paling bijaksana karena tokoh-tokoh wayang itu tak mungkin dimengerti secara langsung oleh pembaca asing. Di mata Mangun sendiri, Tom Hunter bukan sekadar mengerti bahasa Inggris dan bahasa Jawa, tapi juga menyelami kebudayaan keduanya. Keberatan Mangunwijaya yang lain adalah kata "tanah air" yang diterjemahkan Hunter menjadi home. Mangunwijaya menganggap seharusnya kata itu diterjemahkan menjadi fatherland. Tapi, menurut Romo Mangun, Hunter menganggap istilah fatherland di Barat saat ini memiliki konotasi negatif, bombastis, dan tidak disukai kaum feminis. "Tanah air atau fatherland (dalam roman tersebut) itu kan diucapkan pada 1949, bukan 1990. Jadi, konteksnya harus tepat," ujarnya. 

Bagi Hunter sendiri, proses penerjemahannya lancar-lancar saja. Kepada TEMPO, ia mengaku hanya menemui kesulitan ketika mencoba menerjemahkan terminologi Anak Kolong. "Ketika saya berhasil menemukan kata Army Brat, setiap kata dan kisah di dalam buku itu saya terjemahkan dengan lancar." Bagi Hunter, ketertarikannya terhadap novel tersebut bukan saja karena ia melihat dirinya di dalam tokoh utamanya, tetapi juga karena kemampuan Mangun mengaitkan keadaan jiwa seseorang dengan suasana alam di luar dirinya. "Cara yang belum banyak digunakan penulis Indonesia," Hunter mengungkapkan. Agaknya, Yayasan Lontar memilih Burung-burung Manyar sebagai salah satu buku sastra yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris bukannya tanpa alasan. Menurut Ketua Yayasan, Sapardi Djoko Damono, buku itu memang salah satu karya sastra terbaik saat ini.
Sumber: 
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1991/03/23/BK/mbm.19910323.BK13568.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar