Jumat, 22 Juni 2012

ISTANBUL : Kenangan Sebuah Kota

Judul ISTANBUL : Kenangan Sebuah Kota
No. ISBN
Penulis Orhan Pamuk
Penerbit Serambi
Tanggal terbit Januari - 2009
Jenis Cover Soft Cover
Kategori Memoar




SINOPSIS BUKU
Dalam buku ini, Pamuk memberi makna lain terhadap kenangan dan kesedihan seorang individu: sebagai jejak sejarah yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan sebuah kota, bahkan sebuah peradaban. Namun, buku ini bukan hanya cerita tentang sebuah kota nun jauh di sana, melainkan sebuah buku indah yang mengisahkan banyak hal.


Sebagai seorang novelis terkemuka, Pamuk secara cemerlang mampu membuat memoar ini jauh dari membosankan kendati dia bercerita tentang hal-hal sederhana dan kenangan masa silam kota kelahirannya.



Dia menghubungkan benda-benda, lanskap, penanda kota, bangunan kuno, sungai, rumah, buku-buku, dan jalanan bisu dengan berbagai dongeng, mitos, kisah fantasi, legenda, fakta historis, tragedi kehidupan, sengketa politik, biografi orang ternama, kisah-kisah cinta—termasuk kisah cinta pertamanya—dan berbagai khazanah tersembunyi lainnya.


Membaca buku ini, kita seakan diajak membaca sebuah kumpulan cerita yang mengasyikkan, sekaligus menyiratkan perenungan yang dalam tentang hubungan unik antara manusia, ruang, dan waktu.




Resensi:
Makna Kota dalam Memoar Orhan Pamuk 
Bernando J Sujibto*

KOTA harus dimaknai secara komprehensif, bukan hanya sebagai arena kontestasi ekonomi-politik semata yang ujung-ujungnya berkubang kepada persoalan materi dan ukuran kelas-kelas kekayaan. Demi ”keselamatan” kota itu sendiri, kota harus menjadi tempat yang nyaman bagi penduduknya dan memikat orang-orang di luar dirinya.

Kota adalah ruang (space) materi sekaligus nonmateri bagi orang-orang yang menghuni di dalamnya. Ia bukan hanya seperangkat benda-benda (ornamen) dan properti-properti yang menandai kebudayaan serta geliat peradaban suatu tempat. Namun, kota juga merupakan suatu lanskap bagi imajinasi para penghuninya. Yaitu tempat di mana manusia di dalamnya bebas bermimpi tentang nuansa sebuah kota. Nuansa yang terbayang dari serangkaian peristiwa sejarah yang telah melekat dengannya. Sebuah kota juga tidak bisa dipisahkan dari emosi sejarah dan peradaban bangsanya pada masa lalu.

Tentang pergulatan dan makna sebuah kota, Orhan Pamuk melalui memoar Istanbul: Kenangan Sebuah Kota menyajikan kepada kita dengan sangat menawan. Makna kota di tangan Pamuk sebagai seorang penulis jelas berbeda pendekatannya dibandingkan dengan seorang pelukis, pebisnis, ataupun arsitek. Namun yang pasti, Pamuk menyerukan hampir di semua isi memoar bahwa sebuah kota harus diziarahi hingga ke detail akar sejarahnya, bahkan sampai ke denyutnya yang paling dalam. Melalui pergulatannya yang dalam itu pula, dengan yakin Pamuk mencamkan bahwa ”I have described Istanbul when describing myself and described myself when describing Istanbul”. Pamuk dan kota Istanbul telah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Kemurungan kota

Itulah deskripsi Istanbul di tangan Pamuk. Istanbul bukan hanya prasasti atau bangunan-bangunan tua bekas Khalifah Utsmaniyah ataupun konstruksi modern ala Eropa yang bisa disaksikan sekarang. Namun, ada sesuatu di balik semua itu, yaitu kemurungan atau kemuraman (huzun). Di tengah ketegaran dan eksotisme Turki modern saat ini, kemurungan tetap terbayang di Istanbul. Karena itu, Pamuk mengkritik keras penulis-penulis Barat yang hanya memuja-muja Istanbul sebagai kota elegan dan eksotis (hal 362) tanpa menelisik kemuraman yang sudah berabad tertimbun di dalamnya.

Padahal, sejak Turki mengalami fase peralihan dari Khalifah Utsmaniyah (Ottoman) ke Turki Modern di bawah kepemimpinan Musthafa Kemal Attaturk pada tahun 1924, sejarah ”terbelah” antara Timur (Islam) dan Barat (Eropa). Pembelahan terjadi baik secara agama, budaya, ekonomi, maupun politik. Mulai era inilah Turki menjadi sebuah negara dan Istanbul sebagai pusat perlintasan Barat.

Namun, keduanya gamang menatap masa depan. Berada pada pilihan untuk tetap merangkul kokoh tradisi khalifah atau berpaling ke Eropa sebagai lanskap peradaban baru Turki masa kini. Sejak fase itu Turki bergulat dengan masa depannya yang melankolik. Pergulatan ini ditangkap oleh Pamuk melalui riset khusus yang kemudian dituangkan ke dalam memoar ini.

Orhan Pamuk, peraih Nobel Sastra tahun 2006, memang sudah tidak asing bagi pencinta novel di Indonesia. Novelis ini begitu yakin bahwa kemuraman tidak akan pernah terhapus dari ingatan penduduk Istanbul khususnya dan Turki pada umumnya. Kata itu telah menjadi roh dan emosi bagi kota kelahiran yang telah membesarkan dirinya. Pamuk dengan sangat bijak mencoba membangunkan dan menghidupkan kembali memori kolektif bangsanya agar melek terhadap sejarah melankolia Istanbul sebenarnya.

Memori kolektif sendiri pada awalnya berkembang dalam kajian sastra terutama bagi Jean-Paul Sartre dengan istilah ”engaged literature” (Perancis: littérature engagée). Kini berkembang hingga ke persoalan kebangsaan. Menurut Sartre: ”seseorang hanya dapat dikatakan ada jika dia memiliki kesadaran untuk terlibat dalam (sejarah) masalah masyarakatnya”. Memori kolektif adalah langkah penting menuju penerimaan diri sendiri dan orang lain.

Sisi lain, Yvette Johnson, seorang peneliti sejarah etnik Afro-Jerman, mengatakan bahwa kesadaran akan asal-usul dan nenek moyang merupakan dasar bagi eksistensi sebuah komunal masyarakat. Agar etnik Afro-Jerman tetap eksis dan memiliki masa depan baik, demikian Yvette, mereka membutuhkan masa lampau, yaitu sebuah kesadaran historis. ”Mereka perlu mengingat narasi hitamnya dalam sejarah bangsa Jerman,” ungkap Yvette.

Dengan demikian, kesadaran sejarah akan melahirkan memori kolektif yang kuat. Dalam pandangan Adorno, ingatan kolektif akan penderitaan justru merupakan sebuah keharusan imperatif. Karena di saat seperti itulah, kesadaran dan spirit perjuangan yang diajarkan oleh masa silam sejarahnya semakin menemukan posisi. Dan Pamuk, melalui buku terbaru ini, menyajikan ingatan publik tentang Istanbul maupun orang-orangnya di masa silam, kini, sekaligus juga proyeksi masa depannya.

Demi menghidupkan kembali memori kolektif, Pamuk menuliskan ornamen kota, lanskap, bangunan tua, pelabuhan, sungai, lorong-lorong bisu dengan mitos, sejarah, bahkan kisah asmara. Tidak hanya cukup sampai di situ, sengketa dan tragedi kehidupan berdarah serta misteri-misteri runyam lainnya ia paparkan.

Dalam buku ini, sejak awal Pamuk menyinggung tentang kemiskinan dan masyarakat tersisih di pinggiran Istanbul. Sebagaimana pengakuannya, ”Kota tempat saya dilahirkan ini lebih miskin, lebih kumuh, dan lebih terasing ketimbang sebelumnya selama sejarahnya sepanjang dua ribu tahun. Bagi saya, Istanbul selalu merupakan kota penuh reruntuhan dan kemurungan masa akhir kesultanan” (hal 7). Lanskap kemiskinan dengan penduduk yang kumuh itu diracik sedemikian memukau oleh Pamuk sehingga pembaca dapat merasakan kemuraman Istanbul masa silam.

* Bernando J Sujibto, Editor dan Penerjemah, bekerja di Annuqayah Institute Yogyakarta

Sumber: Kompas, Minggu, 2 Agustus 2009 





Pamuk dan Istanbul

Sumber: M. Iqbal Dawami

BUKU ini adalah memoar seorang peraih nobel bidang sastra tahun 2006, Orhan Pamuk, kelahiran Turki. Dalam memoarnya, Pamuk banyak berkisah tentang dirinya—seperti keluarga dan cinta pertamanya—dan tempat kelahirannya yang sekaligus menjadi judul buku ini, Istanbul. Ia mencatat penggalan memori kehidupan masa lalunya di Istanbul antara 1950 hingga 1970-an.

Ferit Orhan Pamuk, demikian nama lengkapnya, dilahirkan di Istanbul pada 7 Juni 1952. Ia terlahir dalam sebuah keluarga kelas menengah yang makmur. Ayahnya adalah direktur utama pertama IBM Turki. Ia kuliah di Universitas Teknik Istanbul jurusan Arsitektur. Namun, ia berhenti setelah tiga tahun kuliah dan memutuskan untuk menjadi seorang penulis sepenuh waktu.

“Kenapa kau tidak pergi keluar sebentar, kenapa tidak mencoba melihat pemandangan lain, melakukan perjalanan?” Ujar sang ibu suatu ketika menyarankan Pamuk. Pamuk mengakui bahwa dirinya dan Istanbul sudah tidak bisa dipisahkan. Istanbul adalah takdirnya, karena kota tersebut telah menjadikan dirinya seperti sekarang ini. Pamuk dan kota Istanbul telah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Pamuk berbeda dengan para penulis dunia lainnya semacam Joseph Conrad, Vladimir Nabokov, dan V.S. Naipul. Mereka adalah penulis dunia yang dikenal telah berhasil melakukan migrasi antarbahasa, budaya, negara, benua, bahkan peradaban. Imajinasi mereka mendapat makanan dari pengasingan, zat gizi yang diperoleh bukan melalui akar melainkan dari ketiadaaan akar. Oleh karena itu, Inspirasi Pamuk hanyalah kota Istanbul, yang sudah dikenal dengan detail. Maka, tak heran dalam memoarnya ini pula ia banyak mengulas Istanbul. 

Salah satu yang diulas oleh Pamuk mengenai Istanbul adalah sisi kemuramannya alias huzun. Baginya, orang boleh bangga dengan kemegahan Turki yang dibangun pada masa Kesultanan Usmani (Ottoman), tapi saat ini di mana Kesultanan Usmani sudah ambruk, Istanbul tak lain hanyalah kota miskin, kumuh, dan lebih terasing ketimbang sebelumnya selama sejarahnya sepanjang dua ribu tahun. Bagi Pamuk, Istanbul selalu merupakan kota penuh reruntuhan dan kemurungan masa akhir kesultanan. 

Karena pandangan sinisnya atas Istanbul (umumnya Turki) baik melalui karya-karya maupun wawancaranya, Pamuk menuai kritikan. Banyak orang menanyakan mengapa ia sering mengkritik Turki dari sisi negatifnya. 

Pamuk Sebagai Penulis 

Meski tidak banyak membicarakan perjalanan kepenulisannya, dalam memoarnya tersirat embrio Pamuk akan menjadi penulis besar. Berawal dari perpustakaan ayahnya, pada usia 17 tahun ia mulai mencurahkan waktunya untuk membaca dan melahap habis buku-buku yang ada dalam perpustakaan tersebut. Pada 1970, saat berusia 18 tahun, dia mulai menulis puisi.Menurut pengakuannya, Pamuk sangat menyukai buku-buku puisi yang ramping dan kusam dari para penyair yang dikenal di Turki sebagai bagian dari gelombang pertama tahun 1940 hingga 1950 dan gelombang kedua tahun 1960 sampai 1970. Pamuk kemudian menulis puisi-puisi dengan cara yang sama dengan mereka. 

Semenjak tahun 1970, Pamuk menambah koleksi perpustakaan keluarganya. Terutama buku-buku yang berkaitan dengan bangsa Turki. Membaca buku-buku yang terkait Turki membuka pikirannya. Sejumlah pertanyaan selalu menggelayut dalam otaknya, seperti mengapa Turki begitu miskin, kumuh, suram, dan kacau balau. Menurutnya, adalah benar bahwa orang seharusnya memandang rendah dirinya karena tak memikirkan apa pun kecuali memikirkan negerinya sendiri dan gagal melihat hubungan antara negerinya dengan bagian dunia yang lain. Semenjak itu, ia mulai serius menulis novel yang bersetingkan Turki. 

Walhasil, buku ini patut dibaca oleh siapa saja (seperti penulis, sosiolog, dan antropolog), terlebih yang mau mengenal lebih jauh siapa Orhan Pamuk dan negeri Turki (baca: Istanbul).[]

M. Iqbal Dawami, 
Penikmat teh dan gogodoh 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar