Minggu, 01 April 2012

Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki

Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : 258 Halaman
Cetakan : Juni, 2007



**********
Sinopsis:
Melalui tulisannya ini, kita akan melihat sosok Cak Nun yang dekat dengan berbagai lapisan masyarakat. Hal ini tentu saja beralasan, karena Cak Nun selama lebih 20 tahun berkeliling Nusantara untuk berjumpa dengan berbagai forum rakyat dan segmen sosial. Seperti golongan politik, etnik, dan agama. Berjumpa dengan buruh pencuri kayu hutan, pelacur, kumpulan preman aktif, kaum buruh, santri, mahasiswa. 


Pengalamannya ini tercermin melalui tulisannya yang bernada bijak dalam memandang berbagai persoalan. Seperti masalah TKI, santri teror, jihad, bencana di Indonesia, disintegrasi sosial, Aceh, termasuk masalah Inul “Ngebor” Daratista. 



------------------------------- 
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), kini giat dalam lima acara rutin yang diasuhnya. Yaitu, Padhang Mbulan (Jombang), Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Kenduri Cinta (Jakarta), Gambang Syafaat (Semarang), Obor Ilahi (Malang). Bersama Kiai Kanjeng kerap diundang ke berbagai mancanegara, di antaranya tur enam kota di Mesir, tur di Malaysia, dan rangkaian tur Eropa: Inggris, Jerman, Skotlandia, dan Italia. Akhir 2006, Cak Nun dan Kiai Kanjeng melakukan serangkaian perjalanan di Finlandia dalam acara Amazing Asia dan Culture Forums atas undangan Union for Christian Culture

**************

Resensi
oleh  Hellowin 

Siapa sih yang tidak mengenal Emha Ainun Nadjib (yang biasa dpoanggil Cak Nun). Lelaki ini terbilang produktif dalam menulis. Tulisannya ada yang berupa puisi, cerita pendek, kolom, hingga esai. Lewat tulisan-tulisan itu berbagai persoalan dibedahnya, mulai dari soal politik, sosial kemasyarakatan, sastra, kebudayaan, kebangsaan, sampai agama. Itu pula yang dilakukannya lewat buku berjudul Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki ini.


Di dalam kumpulan esai ini Emha mengungkapkan berbagai persoalan yang ada di dalam masyarakat. Ia yakin begitu banyak masalah dalam masyarakat yang nyata-nyata menuntut penyelesaian. Dalam pandangannya, jika persoalan itu tidak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, keterpurukan dan krisis bangsa Indonesia tidak akan pernah berakhir.




Persoalan-persoalan itu bagi Emha bukan sekedar sebuah gejala, tetapi telah menjadi potret buram yang terjadi dalam waktu lama. Buntutnya, diperlukan perubahan yang radikal agar bangsa Indonesia bisa lolos dari krisis. Di sinilah titik kritik Emha yang tertuang dalam tulisannya.




Dalam kumpulan esai ini, Emha tampak mencoba menyodorkan realitas ke depan pembacanya. Ia mencoba menghadirkan kenyataan tersebut langsung ke pusat kesadaran pembacanya. Tidak mengherankan jika pembaca sesekali akan berhenti membaca untuk memberikan ruang kontemplasi, dan merenungkan apa yang sedang dibacanya. Hal ini dilakukan misalnya dengan melontarkan pertanyaan-pertanyan retorik. Di sinilah salah satu kelebihan esai-esai yang ditulis oleh Emha.




Di samping itu, Emha kerap menggunakan idiom-idom yang diambil dari Al Quran sehingga nafas Islami dari sejumah esainya dapat dirasakan. Menariknya, meskipun begitu, esai-esai tersebut tetap kontekstual dengan keindonesiaan dan tidak menjadi tulisan-tulisan agama, walaupun nilai-nilai religius tetap mengalir di dalamnya. Inilah yang membuat tulisan-tulisan Emha tetap dapat “dinikmati” oleh berbagai kalangan, bahkan lintas pemeluk agama.

Esai-esai Emha tidak bergegas memberikan sebuah solusi untuk problem-problem yang tengah dibahas. Tetapi justru ia mengajak pembaca untuk secara perlahan menyelami akar masalah dari persoalan yang ada. Di sini pembaca seakan diajak untuk melihat setiap permasalah secara komprehensif, mengakar, terbuka terhadap berbagai kemungkinan, bersikap tidak asal tuduh, dan selalu mempertimbangkan dimensi-dimensi yang mengitarinya (pluridimensional).




Hal di atas tampak misalnya ketika Emha berbicara soal terorisme yang memunculkan stereotip di kalangan atau kelompok masyarakat tertentu. Dalam tulisan ini diceritakan bagaimana Emha harus menjawab pertanyaan yang diajukan seputar terorisme dan pesantren. Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pesantren, dengan nada menyejukkan Emha mengungkapkan bahwa orang-orang dari pesantren adalah kaum yang termarjinalkan. Lulusan pesantren sebagian besar menjadi kaum yang terlempar dari arus jaman. Lalu, yang tidak diperhatikan oleh banyak kalangan, keterpinggiran tersebut disertai dendam di punggung mereka dan sewaktu-waktu bisa berubah menjadi ledakan api.

Harus diakui memang, tulisan-tulisan lelaki yang akrab dipanggil Cak Nun ini bukanlah tulisan yang dapat seketika dipahami. Namun diperlukan kearifan, kecermatan serta ketelitian dalam membacanya. Maklum saja, tulisan-tulisannya bukanlah berita sensasional tabloid hiburan yang dapat dinikmati secara instan. 

Emha sendiri di dalam esai-esainya tidak mencoba menggurui. Ia juga tidak tiba-tiba menjadi orang yang “maha tahu” dan mempunyai kapasitas untuk memberikan nilai pada sebuah keadaan, melainkan mencoba membahasakan realitas ke hadapan pembaca. Mengenai penilaian, hal itu lagi-lagi diserahkan kepada pembaca.


Di dalam esai-esainya, Emha sering mengajak pembaca melihat realitas dengan cara tidak langsung. Ia seringkali masuk ke dalam persoalan lewat peristiwa tertentu atau bahkan cerita tertentu. Dari situ spektrumnya meluas dan menyusup ke hal-hal yang mendasar dan substansial.




Ketika Emha memperbincangkan soal goyang Inul Daratista misalnya, ia tidak hanya berhenti pada kontroversi goyang yang sempat menghebohkan itu, tetapi juga ia ingin menunjukkan ketidakkonsistenan masyarakat dalam menghadapi sebuah gejala. Hal ini, menurut Emha, adalah disebabkan boleh latar belakang budaya dan infrastruktur alam pikiran masyrakat itu sendiri. Misalnya saja, melarang habis-habisan orang untuk korupsi, tetapi jika dirinya kecipratan hasilnya, korupsi seakan-akan menjadi legal (Hal. 16).




Hal yang sama juga tampak saat Emha berbicara soal bencana Tsunami yang terjadi di tahun 2004 di Aceh. Di sini ia tidak melulu berbicara mengenai gempa secara teknis, tetapi ia justru menelaah peristiwa tersebut dari sisi spritual yang reflektif dan kontemplatif.




Hal lain yang menarik dari kumpulan tulisan ini, Emha mengingatkan bahwa tulisannya selalu bertolak pada tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan bangsa, bukan pada “karir” kepenulisannya. Tidak mengherankan jika kemudian Emha acap kali memosisikan diri sebagai bagian dalam kehidupan masyarakat yang tengah dikritisinya. Malah ia menempatkan diri sebagai “murid” dari masyarakat atau umat. Keegaliteran inilah yang membuat Emha selalu dapat diterima di berbagai lapisan dan golongan masyarakat.




Dalam buku ini, esai-esai Emha dikelompokkan menjadi enam bagian besar yaitu Podium Husni yang banyak mengupas persoalan kebudayaan, Sekul dan Uler yang menyoal ideologi negara dan kepemimpinan, Santri Teror yang membahas masalah santri dan alam pikiran para santri, Generasi Kempong yang mengajak pembaca untuk melihat berbagai kekacauan sikap budaya dan kemunafikan, “Wong Cilik” dan Dendam Rindu Jakarta yang berbicara mengenai kaum marjinal, dan Gunung Jangan Pula Meletus yang mencoba memaknai bencana yang melanda Indonesia.




Sayangnya, tidak semua esai dalam buku ini menyebutkan sumber tulisannya. Akibatnya, pembaca tidak pernah tahu konteks sesungguhnya dari tulisan-tulisan tersebut. Akan lebih membantu sebenarnya jika pembaca tahu sumber tulisan tersebut, misalnya, apakah esai tersebut pernah dimuat di sebuah harian, apakah esai tersebut merupakan makalah dalam sebuah seminar, atau memang tulisan-tulisan yang belum sempat diterbitkan. Sumber karangan, waktu ketika esai itu dibuat, dan konteks persoalan ketika esai itu dibuat, tentunya akan membantu pembaca memahami gagasan-gagsan Emha dan maksud dari tulisan-tulisannya

Sumber: http://id.shvoong.com/f/books/dictionary/1910878-kiai-bejo-kiai-untung-kiai/#ixzz1qkIFB3Ej

Si Bejo Yang Untung ; Sebuah Perenungan
oleh: Yuni Ambarwati 
Sungguh siapa saja yang duduk dalam struktur pemerintahan negeri ini adalah “Kiai Bejo”, “Kiai Untung” atau “Kiai Hoki”. Orang yang mendapatkan keuntungan meskipun tanpa bekerja. Salah satu pameo membuat rumus: orang bodoh kalah oleh orang pandai, orang pandai kalah oleh orang berkuasa, orang berkuasa kalah oleh orang kaya, orang kaya kalah oleh orang “bejo”. Setiap pemerintah Indonesia tidak terlibat dalam konstelasi pameo itu, sebab mereka sekaligus pandai, berkuasa, kaya dan “bejo”. (Cak Nun).
Kiai Bejo aka Kiai Untung dalam bahasa Jawa, atau Kiai Hoki dalam bahasa Cina. Demikian kiranya kemudian Emha Ainun Nadjib yang akrab dipanggil Cak Nun menjuduli kumpulan esainya dengan “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki”. Judul yang menggelitik dan menggugah rasa ingin tahu pembacanya. Kira-kira apa yang ingin diangkat oleh seorang budayawan dalam bukunya yang bersampul gambar diri dalam bentuk kartun ini?. Kita simak saja…
Tak ada yang tak kenal lelaki kelahiran Jombang 27 Mei, 54 tahun silam ini. Beliau merupakan pekerja sosial yang hidupnya lebih banyak dijadwal oleh masyarakat yang selalu setia disapanya lewat pelbagai acara dan pertemuan. Sedikitnya ada lima acara rutin yang diasuhnya seperti Padhang Mbulan di Jombang, Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Kenduri Cinta (Jakarta), Gambang Syafaat (Semarang), dan Obor Illahi (Malang). Di luar itu, dia melayani berbagai undangan yang memintanya untuk tampil hampir di seluruh daerah Nusantara ini.
Beliau juga terbilang aktif dalam menulis, baik puisi, cerita pendek, kolom, hingga esai. Banyak hal yang dibahas dalam tulisannya yang bernada bijak. Emha mengangkat persoalan politik, agama, serta kehidupan sosial kemasyarakatan Dari Cinta Kepada Aa’ sampai Santri Teror, dari goyang ngebor Inul hingga Generasi Kempong.
Di wilayah kerajaan dangdut, Inul adalah warganya sang Raja Dangdut, atau mungkin lebih intim kalau kita sebut anaknya Rhoma Irama. Ia berada di bawah asuhan , ayoman, dan perlindungan bapaknya. Kalau si anak benar, bapak men-support-nya. Kalau anak salah bapak mengingatkannya. Kalau anak jaya, bapak bergembira. Kalau anak terpuruk, bapak menolongnya. (Hal 12).
Demikian paragraf pembuka dari tulisannya yang berjudul “Pantat Inul adalah Wajah Kita Semua”. Sebaris judul yang jelas-jelas menohok. Membincang goyangan Inul, Emha yang akrab dipanggil Cak Nun ini tidak hanya memandang pada kontroversi goyangan dasyat yang sempat mencuri perhatian semua kalangan. Di sinilah kemudian Cak Nun menceritakan ketidak konsistenan masyarakat dalam menghadapi berbagai gejala. Betapa di tengah pedangdut lain yang berlomba menciptakan “gaya baru” dalam berjoget, hanya Inul saja yang dijadikan fokus jihad Rhoma Irama.
Cak Nun mengajak pembaca untuk melihat dengan lebih jeli akar permasalahan yang ada secara terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Meski begitu, tulisan-tulisan beliau bukanlah tulisan yang dapat dipahami dalam sekali baca. Pembaca diajak merenung dan memahami apa yang sedang dibaca. Butuh kecermatan serta ketelitian dalam membacanya.
Lihat saja dalam tulisannya yang berjudul Generasi Kempong ;
Generasi Kempong itu adalah generasi yang ompong, tak punya gigi, makan apapun tak perlu dikunyah.
“Orang kempong ndak bisa makan kacang, bahkan kerupuk pun hanya di-emut. Kalau orang punya gigi, dia bisa menjalankan saran dokter : kalau makanan harus dikunyah 33 kali baru ditelan. Sekedar makanan, harus dikunyah sampai sekian banyak kali agar usus tidak terancam dan badan jadi sehat. Lha kok tulisan, ilmu, informasi, wacana-maunya langsung ditelan jadi.”(hal 141)
Begitu beliau menanggapi kritik dari temannya yang megatakan bahwa tulisannya yang susah dipahami.
Wahhh saya ikut tersenyum, seperti temannya Cak Nun yangnyengenges. Betul juga yaaaa. Itulah kecenderungan kita yang mau gampangnya saja. Mau cepat paham tapi ndak mau mikir. Yokopooo sembaaaaah mbah !”
Nafas Islami sangat kental karena Emha banyak menyisipkan ayat Al Qur an di dalam tulisan-tulisannya. Beliau juga banyak menggunakan istilah-istilsah dalam bahasa Jawa, seperti ; menek-menek, ndompleng, kabur kanginan, sekul dan uler, ndilalah, nggeremeng, nyubyo-nyubyo, dan masih banyak lagi.
Ada 43 buah esai dalam buku ini dan Cak Nun mengelompokkannyamenjadi enam bagian besar yaitu Podium Husni yang mengupas persoalan kebudayaan, Sekul dan Uler membahas tentang ideologi negara dan kepemimpinan, Santri Teror, Generasi Kempong yang mengajak pembaca untuk tidak menjadi ompong, “Wong Cilik” dan Dendam Rindu Jakarta yang berbicara mengenai kaum buruh dan aku yang termarjinalisasil, dan Gunung Jangan Pula Meletus yang memaknai bencana yang kerap melanda Indonesia.
Bagi pembaca yang notabene orang Jawa, sudah dapat dipastikan mengerti arti kata yang dicetak miring itu, namun bagi pembaca yang sama sekali “buta” bahasa Jawa, pasti hanya menebak-nebak saja maksudnya. After all, tulisan Cak Nun sangat bisa dinikmati, siapa saja, kalangan mana saja bahkan mereka dengan agama yang berbeda.(Nai) Sumber: http://evolia.wordpress.com/2007/09/03/si-bejo-yang-untung-sebuah-perenungan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar