Judul: Buku: Langit Mekah Berkabut Merah
Penulis: Geidurrahman El-Mishry
Penerbit: Grafindo, Jakarta
Cetakan : I, Juni 2008
Tebal: 338 halaman
Sindrom Ayat-Ayat CintaPenulis: Geidurrahman El-Mishry
Penerbit: Grafindo, Jakarta
Cetakan : I, Juni 2008
Tebal: 338 halaman
Oleh DAMHURI MUHAMMAD
Akhir-akhir ini cerita perihal suka duka mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Mesir, makin marak dibincangkan. Gairah itu muncul seiring dengan fenomena novel Ayat-ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman El-Shirazy yang berhasil menembus angka penjualan lebih dari 400.000 eksemplar. Fahri, tokoh utama novel itu, berhasil menyita perhatian ratusan ribu pembaca untuk mengenal lebih jauh tentang liku-liku kehidupan mahasiswa Indonesia di Kairo. Bahkan ada sebagian besar penikmat novel yang terjerembab pada fanatisme berlebihan terhadap sosok Fahri yang digambarkan sebagai laki-laki tanpa cela, tak pernah salah, apalagi berdosa. Idealisasi yang utopia dan sukar ditemukan dalam realitas yang sesungguhnya.
Barangkali itu sebabnya, setelah Ayat-ayat Cinta, berhamburan pula novel-novel pengekor dengan modus pengisahan yang kurang lebih sama, bahkan formulasi judul dan nama pengarangnya dirancang hampir-hampir mirip. Salah satunya Bait-bait Cinta (2008) karya Geidurrahman El Mishry yang penjualannya telah menembus angka 35.000 eksemplar. Meski terbilang pengekor, novel ini menyangkal idealisasi tokoh imajiner yang serbasempurna dalam AAC. Pengarangnya berusaha membangun idealisasi yang lebih realistis, lebih manusiawi, dan sesekali bisa khilaf berbuat dosa.
Langit Mekah Berkabut Merah ini novel kedua Geidurrahman setelah sukses dengan Bait-bait Cinta (BBC). Setali tiga uang dengan AAC dan BBC, lagi-lagi ''lakon''-nya mahasiswa Al-Azhar. Namanya Firdaus, yang tampil sebagai laki-laki ''nakal'', gemar gonta-ganti cewek, bahkan berani menikah diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua. Pusaran kisahnya tidak di Kairo, tapi di Mekah, Saudi Arabia. Cerita berangkat dari pengalaman tragis Midah, TKW asal Indonesia yang kabur dari rumah majikan setelah berkali-kali nyaris diperkosa. Ia terlunta-lunta di penampungan tak resmi lantaran KJRI tidak sanggup lagi menampung TKW-TKW bermasalah. Pada saat yang sama, Firdaus sedang bertugas sebagai temus (tenaga musiman), selama musim haji di Mekah.
Perwatakan Firdaus bertolak belakang dengan karakter Fahri yang serbaideal dalam AAC. Ada dua perempuan yang ditaksir lelaki itu sebelum ia jatuh hati pada Midah. Ia tergoda oleh kecantikan Thien, dokter muda, petugas medis di Mekah selama musim haji. Pada saat yang sama Firdaus juga menaruh hati pada Dina, putri pejabat tinggi yang memilih Firdaus sebagai pemandu keluarganya selama menjalankan ibadah haji. Kepribadiannya rapuh, labil, bahkan bisa disebut ''mata keranjang''. Meski begitu, petualangan cintanya terasa lebih masuk akal, tidak utopia sebagaimana idealisasi Habiburrahman dalam AAC.
Selain romantika yang mengasyikkan, novel ini juga menyingkap silang sengkarut persoalan yang mendera para pahlawan devisa yang mendulang rupiah di Timur Tengah. Midah sudah mengadukan persoalannya ke KJRI Jeddah, tapi alih-alih mendapatkan perlindungan, ia malah disalahkan karena kabur dari rumah majikan. Akhirnya Midah jatuh ke tangan Ubed, lelaki pemilik tempat penampungan tak resmi untuk TKW-TKW bermasalah. Uluran tangan Ubed bukan tanpa pamrih. Ia berkenan membantu karena Midah masih belia, dan tentu saja; cantik. Ubed berhasrat hendak mempersuntingnya sebagai istri ketiga setelah ia menikahi dua TKW telantar lainnya yang juga ia ''simpan'' di penampungan itu. Untunglah Firdaus buru-buru menghalangi niat Ubed, teman karibnya itu. Lagi pula, setelah Firdaus mengenal Midah, ternyata ia adalah anak perempuan guru mengajinya sewaktu kecil di Indramayu. Midah dan Firdaus berasal dari daerah yang sama. Ubed berbalik untuk bersungguh-sungguh membantu Midah, karena ia tahu, Firdaus telah jatuh hati pada gadis lesung pipit itu.
Hubungan Midah dan Firdaus ternyata tak segampang yang mereka pikirkan. Firdaus yang tidak tahan melihat perempuan cantik, kena batunya. Dokter Thien ditemukan mati mengenaskan di lembah antara Jabal Nur dan Jabal Rahmah. Ada seragam temus atas nama Firdaus tak jauh dari mayat korban pemerkosaan dan pembunuhan itu. Firdaus tertuduh sebagai pelakunya. Dalam persidangan, Midah memberi kesaksian berikut bukti-bukti bahwa pada malam terjadinya pembunuhan itu Firdaus ada di penampungan tempat tinggal Midah. Kesaksian itu dibenarkan majlis hakim, karena ternyata kasus ini didalangi oleh Junaidi, pejabat urusan haji yang menaruh hati pada dokter Thien. Ia cemburu, karena Thien jatuh hati pada Firdaus. Junaidi memecat Firdaus sebagai temus, dan memfitnahnya sebagai pelaku pemerkosaan.
Firdaus memang bebas, tapi ganti Midah yang dihadang masalah besar. Tak lama setelah persidangan Firdaus, bekas majikan Midah dan dua polisi Saudi datang ke penampungan. Midah ditangkap dengan tuduhan kabur dan melakukan praktik prostitusi liar di penampungan. Tanpa pengadilan Midah divonis dengan hukuman cambuk. Sebelum eksekusi, Midah diperkosa oleh petugas-pertugas berseragam secara bergiliran, hampir tiap hari. Bahkan ketika Midah sedang haid, mereka terus saja melakukannya. Waktu itu, Firdaus sudah meninggalkan Mekah, ia berada di Jakarta, di rumah Dina Oktaviola, putri pejabat yang baru saja dinikahinya. Ia tersentak setelah menyaksikan tayangan televisi yang memberitakan bahwa seorang TKW asal Indonesia akan dieksekusi dengan hukuman cambuk. TKW itu Midah, perempuan yang lebih dicintainya ketimbang istrinya sendiri.
Meski Firdaus datang ke Saudi dengan pengacara, dan telah melakukan segala upaya agar kasus Midah bisa disidangkan, tapi semuanya sia-sia. Gadis muda asal Indramayu itu akhirnya harus memasrahkan diri di hadapan algojo, menerima hukuman cambuk yang bakal melumpuhkan semua persendian di tubuhnya. Ia meninggal beberapa hari setelah eksekusi. Firdaus sempat membawanya ke rumah sakit dan Midah sempat pulih. Ia meninggal bukan karena sakitnya luka akibat lecutan cambuk, tapi karena Firdaus bersijujur mengakui bahwa ia telah menikahi perempuan lain. Midah yang peruntungannya tak mujur itu hanya satu dari sekian banyak gadis-gadis muda Indonesia yang bercita-cita hendak mendulang rupiah di Timur Tengah, tapi ujung-ujungnya pulang membawa musibah.
Kalau memang novel ini hendak membangun wacana tandingan terhadap ''demam'' Ayat-ayat Cinta, utamanya dalam hal idealisasi tokoh-tokoh cerita, kenapa nama pengarangnya masih mengekor pada AAC? Bukankah itu sama saja dengan membangun rumah baru dari puing reruntuhan rumah lama? Semestinya pengarang berani memosisikan novel ini sebagai karya yang mampu tegak di atas kaki sendiri, tak harus dijangkiti oleh ''sindrom'' Ayat-ayat Cinta...mr- Damhuri Muhammad
Lok buku novelnya masih ada bleh beli gaa wat revrensi
BalasHapus