Jumat, 06 April 2012

Laskar Pelangi

Judul : Laskar Pelangi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka, 2005
Tebal : 529 hal
ISBN : 979-3062-79-7

*****
Sinopsis:

Begitu banyak hal menakjubkan yang terjadi dalam masa kecil para anggota Laskar Pelangi. Sebelas orang anak Melayu Belitong yang luar biasa ini tak menyerah walau keadaan tak bersimpati pada mereka. Tengoklah Lintang, seorang kuli kopra cilik yang genius dan dengan senang hati bersepeda 80 kilometer pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu—bahkan terkadang hanya untuk menyanyikan Padamu Negeri di akhir jam sekolah. Atau Mahar, seorang pesuruh tukang parut kelapa sekaligus seniman dadakan yang imajinatif, tak logis, kreatif, dan sering diremehkan sahabat-sahabatnya, namun berhasil mengangkat derajat sekolah kampung mereka dalam karnaval 17 Agustus. Dan juga sembilan orang Laskar Pelangi lain yang begitu bersemangat dalam menjalani hidup dan berjuang meraih cita-cita. Selami ironisnya kehidupan mereka, kejujuran pemikiran mereka, indahnya petualangan mereka, dan temukan diri Anda tertawa, menangis, dan tersentuh saat membaca setiap lembarnya. 

Buku ini dipersembahkan buat mereka yang meyakini the magic of childhood memories, dan khususnya juga buat siapa saja yang masih meyakini adanya pintu keajaiban lain untuk mengubah dunia: pendidikan 


******
Resensi:

Masa Kecil yang Ageless, Timeless, Borderless, Inspiratif!
Santi Indra Astuti,Msi


Sekadar mengingatkan, kekuatan buku Tetsuko begitu mengagumkan.ia memaku para pembaca dari jenjang usia yang berbeda. Bukan sekadar bercerita tentang kelucuan tingkah polah seorang Totto-chan, tapi lebih dari itu, buku itu mengajari kita bahwa masa kecil bukanlah the past yang eksklusif milik sang pelaku. Kendati berada dalam satu konteks waktu tertentu, ternyata dunia kecil hidup begitu utuh, intact. Maka dari itu, memoar Tetsuko menjadi ageless. Buku Tetsuko juga menjadi best-seller internasional inilah bukti bahwa buku tentang masa kecil anak perempuan Jepang di sekolah Tomoe yang progresif menjelang Perang Pasifik itu bersifat cultural transgressing lintas kultural. Atau mungkin cultural borderless tidak berbatas kultural, sehingga bisa dinikmati oleh siapa saja, dari latar budaya manapun. Masa kecil (dan esensi pendidikannya) mungkin memang berada dalam bahasa atau wacana universal yang sama sepanjang waktu di kepala manusia. Namun, tak semua karya yang mengangkat wacana ini menjadi luarbiasa. Agaknya, hanya karya yang disajikan tanpa pretensi egois dan narsistis dari penulisnya-lah yang berpotensi menjadi sebuah karya besar: timeless, ageless, dan borderless.

Lalu, bagaimana dengan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata


Laskar Pelangi bertutur tentang masa kecil dan dunia pendidikan khasIndonesia . Lebih spesifik lagi: Melayu Belitong. Lengkap dengan kemelaratan, idealisme yang polos, alam yang liar, juga fantasi yang hadir memikat di setiap tikungan. Sepuluh anggota Laskar Pelangi demikian mereka menyebut diri--adalah murid SD Muhammadiyah yang hidup dalam kekurangan di rumah mau pun di sekolah. Beberapa di antaranya adalah si jenius Lintang, Mahar sang seniman, Sahara yang judes, Flo yang tomboi, A Kiong yang penggugup, Kucai sang politikus, raksasa Samson, dan Harun si anak kecil yang terperangkap dalam tubuh dewasa sebuah metafor yang menarik untuk menggambarkan kondisi keterbelakangan mental Harun. Tokoh aku adalah Ikal sang pemimpi, dan dari kacamatanyalah kisah demi kisah dalam masa kecil dan dunia sekolahnya dituturkan dengan menarik, cerdas, penuh humor, tapi juga tragedi yang mengharu-biru. Simak, misalnya, bagaimana sekolah yang miskin diilustrasikan dengan penutup lubang sekat berupa poster bergambar ... seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya . Matanya sayu tapi meradang, seperti telah menghadapi cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi... wajah sang pria melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan ... Ada dua kalimat di bagian bawah poster yang awalnya tak terbaca oleh Ikal. Namun, ... setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!

Seru! Novel ini tidak mengajak pembaca untuk menangisi kemiskinan. Sebaliknya, mengajak kita untuk memandang kemiskinan dengan cara lain, tepatnya melihat sisi lain dari kondisi kekurangan yang mampu melahirkan kreativitas-kreativitas tak terduga. Keterbatasan-keterbatasan yang dialami nyatanya menumbuhkan anggota Laskar Pelangi menjadi karakter-karakter yang unik. Kenakalan-kenakalan kecil bercampur dengan kepolosan yang cerdas, menghadirkan satu adonan menakjubkan tentang bagaimana masa kecil dipersepsi dan dijalani oleh anak-anak yang luarbiasa ini. Mereka menjadi luarbiasa karena hidup dalam keterbatasan, luarbiasa karena dibesarkan dengan idealisme pendidikan yang terasa naif di zaman sekarang, sekaligus luarbiasa karena garis nasib menuntun mereka menjadi sosok-sosok yang tidak pernah terduga oleh siapapun.

Memoar, Sastra Riset

Laskar Pelangi bersumber dari kisah nyata penulisnya. Andrea dibesarkan dalam tipikal keluarga menengah Indonesia yang lebih sering beresiko njomplang ke bawah daripada naik ke atas, di sebuah kampung miskin yang berbatasan dengan sebuah kerajaan besar PN Timah dengan semua fasilitas yang mewah dan mahal di tengah asuhan budaya keluarga yang masih kental dengan nilai-nilai Islami. Sekolah yang diceritakan di sini adalah kelas-kelas berdinding kayu, berlantai tanah, beratap bocor, yang kalau malam menjadi kandang hewan. Tanpa poster burung Garuda, foto presiden dan wakil presiden. Amat sederhana bangunan sekolah itu. Tapi persoalan apapun menyangkut pendidikan tak pernah sederhana...

Menariknya, Andrea mengolah semua itu tanpa terjebak pada keberpihakan primordialitas, penyimpulan yang general dan simplistis yang lagi-lagi menyalahkan kesenjangan ekonomi, atau melarikan semua persoalan pada isu-isu normatif yang semata-mata bersandar pada dogma-dogma religius. Lewat tuturan masa kecil di sekolahnya dan narasinya yang begitu peka dan kaya akan amatan sosiokultural, Andrea meyakinkan pembacanya ihwal the magic of childhood memories, serta adanya pintu keajaiban untuk mengubah dunia: pendidikan. Karenanya, sebagaimana Totto-chan berterima kasih pada sang Guru, Shosaku Kobayashi, maka dalam Laskar Pelangi tergambar pula kecintaan dan rasa hormat pada para Guru. Bagi Andrea, guru-guru seperti Bu Mus dan Pak Harfan adalah pelita, dalam arti yang sesungguhnya. Kedua karya tersebut mengajak para pembaca untuk berterima kasih pada sang Guru dan merenungkan jasa-jasa mereka tanpa upacara atau nasihat-nasihat klise.

Laskar Pelangi merupakan sebuah memoar, dan mengolah memoar menjadi novel yang memikat bukan perkara gampang. Nyatanya, Laskar Pelangi menjadi memoar yang sangat menarik. Ia menjadi sebuah karya yang menyentuh secara emosional, tapi juga mencerahkan secara intelektual. Deskripsi yang sangat filmis ihwal nature maupun culture dalam Laskar Pelangi tidak saja mampu menarikan imajinasi membentuk theater of mind di dalam benak. Lebih dari itu, kekayaan referensi lewat kajian literatur yang diolah menjadi bagian-bagian menarik dalam novel ini mengejutkan layak pula dijadikan setidaknya sebagai awal dari suatu rujukan ilmiah. Dalam glosarium, tercantum lebih dari seratus entri untuk pelbagai hal, meliputi tetumbuhan (lais tandarus furcatus, anggrek azalea?tainia shimadai), hewan (kupu-kupu kuning papilio blumei, cinenen kelabu sejenis burung), mineral (siderit, zirkonium, topas), pangan (caesar salad, chicken cordon bleu, gangan, jadam), sampai istilah ekonomi dan budaya (trickle down effects, trade off, buntat, agnostik). Agaknya, karya ini mulai mencerminkan apa yang belakangan ini marak disebut-sebut sebagai sastra riset karya sastra berbasis riset, yang antara lain dipopulerkan (bukan dipelopori!) oleh novelis-novelis kontemporer Dewi Lestari dan Ayu Utami.

Ageless, Timeless, Borderless

Sebagaimana Totto-chan, Laskar Pelangi berkualitas ageless, timeless, dan borderless biarpun dituturkan dengan latar budaya Melayu Belitung yang sangat kental. Setiap potongan dan perabotan dunia yang hadir di masanya juga merupakan sebuah deskripsi realisme magis-kritis, yang di beberapa bagian mungkin membuat kita merinding karena beraroma Gogol, atau bahkan Marquez (simak: bab 10 Bodenga). Dalam Laskar Pelangi, Andrea menempatkan masa kecilnya dalam konteks yang tak lepas dari pergolakan sosial budaya, tanpa berlarut-larut atau mengasyikkan diri dalam persoalan itu. Sehingga, novel ini bisa dibaca dari berbagai perspektif: eksotisme dan romantisme masa kecil, ilustrasi kritis-sosiologis terhadap eksploitasi Belitung , atau sekalian saja perdebatan ilmiah tingkat tinggi antara jenius-jenius yang memahami dasar-dasar Principia Newton. Maka, kalau pun ada sesuatu yang rasanya tidak logis bagi nalar kita, mungkin itu disebabkan pengalaman kita begitu terbatas pada dunia persekolahan dalam bingkai kurikulum pendidikan yang tak pernah baku dan konsisten. Sehingga, terasa tak masuk akal jika seorang Lintang yang berpendidikan SD dari pedalaman Belitung, dan miskin pula, dalam novel ini menantang seorang master fisika jebolan perguruan tinggi terkenal dalam diskusi seputar prinsip-prinsip optik Descartes, Newton, sampai Hooke. Sama pula tak masuk akal rasanya anak-anak papa yang sehari-harinya bergulat dengan nasib menjadi buruh pemarut kelapa atau penangkap ikan ini ternyata begitu fasih menyebut-nyebut Tennessee Waltz dan Jim Morrison dalam percakapan mereka! Tapi, sekali lagi, walau dibayang-bayangi masa kecil penulisnya, karya ini diluncurkan sebagai novel. Sebuah novel tetaplah novel batas fakta dan fiksi imajinatif rekaan penulisnya tentu tak perlu diperdebatkan lagi. Memperdebatkan kualitas isi dan penuturannya jelas lebih relevan.

Di tengah booming novel-novel chick-lit dan sastra sexist (bukan pengertian sexist dalam wacana gender, melainkan sexist karena mengekspos seksualitas dan sensualitas!), karya Andrea menjadi alternatif yang mencerahkan sekaligus melegakan. Novel ini berpotensi menjadi satu di antara sedikit karya yang bakal membuat kita tergugah untuk menjenguk kembali sisa-sisa kenangan masa kecil yang mungkin masih kita miliki, serta menghormati sekolah dasar kita, guru-guru kita, lingkungan kecil kita, teman-teman bandel yang kerap menggoda dan dulu begitu menjengkelkan. Mungkin, itulah satu-satunya yang tersisa dari jatidiri kita yang masih memperlihatkan serpih kejujuran, setelah hasrat duniawi menopengi kita dengan beragam citra artifisial untuk meraih semua keinginan dalam kerakusan ambisi kita.
Santi Indra Astuti,Msi

Dosen Ilmu Komunikasi, UI Awardee
Sumber: Koran Tempo, 30 Oktober 2005

Berpetualang Bersama Laskar Pelangi
HERNADI TANZIL

Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. Tak tahu siapa di antara kami yang pertama kali memulai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar menunggu kehadiran lukisan langit manakjubkan itu. Karena keragaman kolektif terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami Laskar Pelangi. (hal 160)

Masa kecil selalu indah untuk dikenang. Tanpa disadari apa yang kita alami di masa kecil akan membentuk kita pada hari ini. Apa yang kita lakukan hari ini, bagaimana cara pandang hidup kita terhadap hidup ini, semua terbentuk saat masa kecil. Novel ini diangkat dari memoar masa kecil penulisnya – Andrea Hirata – atau tokoh Ikal dalam novel ini yang dengan apik mengolah pengalaman masa kecilnya bersama Laskar Pelangi menjadi suatu novel yang memikat dan menyentuh secara emosional bagi siapapun yang membacanya

Laskar Pelangi bertutur tentang petualangan sepuluh anak kampung Melayu Belitong yang hidup dalam kemelaratan. Mereka secara tidak disengaja dipersatukan ketika sama-sama memasuki bangku sekolah di kampungnya. Novel ini diawali dengan kisah dramatis penerimaan murid baru di sekolah miskin SD Muhammadiyah yang merupakan satu-satunya sekolah yang ada di kampung tersebut. Sebuah sekolah yang terpinggirkan dan hampir saja ditutup jika tidak memenuhi kuota menerima 10 orang murid SD di tahun ajaran pertamanya. Pada detik-detik terakhir menjelang batas waktu penerimaan murid baru usai kuota itu belum juga terpenuhi, para guru dan calon murid yang menunggunya sudah siap menelan kekecewaan tak bisa bersekolah karena sekolahnya akan ditutup.Untunglah di detik-detik terakhir muncul seorang calon murid yang memungkinkan sekolah tersebut bisa terus berjalan.

Kesepuluh anak inilah yang merupakan cikal-bakal terbentuknya Laskar Pelangi. Sembilan tahun bersama –sama (6 tahun SD dan 3 tahun SMP) dalam kelas dan bangku yang sama membuat ikatan persahabatan diantara mereka semakin erat, begitupun ikatan dengan guru dan sekolahnya yang membuat mereka saling melengkapi dan dengan kreativitasnya masing-masing membela dan memperjuangkan sekolah mereka dari pandangan rendah sekolah-sekolah lain diluar kampung mereka yang telah mapan. Keragaman karakter Laskar Pelangi yang terjaga kekonsistenannya hingga akhir cerita membuat alur cerita dalam novel ini semakin menarik. Mereka adalah tokoh Lintang si super jenius, Mahar sang seniman, Flo anak tomboi gedongan yang memutuskan untuk bergabung dengan Laskar Pelangi, Sahara gadis yang judes, Kucai yang bercita-cita jadi politikus, Samson yang perkasa, Syahdan yang ingin jadi aktor Akiong yang pengugup, Harun “anak kecil yang terperangkap dalam tubuh dewasa”, Trapani, pria yang tampan dan lembut, Borek si pengacau, dan Ikal si pemimpi yang merupakan tokoh yang bercerita dalam novel ini.

Memang tak semua anggota Laskar Pelangi mendapat porsi yang sama kemunculannya dalam novel ini, selain Ikal si pencerita, tokoh Lintang mendapat porsi yang cukup banyak. Lintang si anak kuli kopra yang jenius yang harus bersepeda sejauh 80 klilometer pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu membuat pembaca novel ini termotivasi semangatnya untuk terus mengejar ilmu tanpa menyerah. Berkat kejeniusannya Lintang kelak akan mengharumkan nama sekolahnya dalam lomba cerdas cermat yang diikuti oleh sekolah-sekolah terkenal di sekitar kampungnya.

Lalu ada tokoh Mahar seorang anak yang imajinatif, kreatif yang walaupun sering mendapat ejekan dari teman-temannya namun berhasil mengangkat derajat sekolahnya dalam karnaval 17 Agustus. Selain itu kesembilan orang Laskar Pelangi yang lain pun dalam novel ini dikisahkan begitu bersemangat dan berjuang dalam menjalani hidup dan berjuang meraih cita-cita.

Keseluruhan kisah Laskar Pelangi ini tersaji dengan sangat memikat. Pembaca akan dibuat tercenung, menangis dan tertawa bersama kepolosan dan semangat juang para Laskar Pelangi. Namun tak hanya itu saja, novel ini juga sangat berpotensi untuk memperluas wawasan pembacanya. Deskripsi lingkungan Kampung Melayu Belitong yang dideskripsikan secara jelas dan memikat membuat pembaca novel ini akan mengetahui kondisi lingkungan dan kondisi sosial budaya masyarakat Kampung Melayu Belitong yang hidup dibawah garis kemiskinan yang ironisnya ternyata hidup berdampingan dengan komunitas masyarakat gedong PN Timah yang hidup dengan segala kemewahan dan fasilitas yang lebih dari cukup. Novel ini juga memuat glossarium lebih dari seratus entri yang sebagian besar berisi entri nama-nama latin tumbuh-tumbuhan dan hewan yang ada di Belitong, mineral yang ada dalam perut bumi, makanan, istilah ekonomi, budaya dan sebagainya.

Dari segi alur cerita novel ini sepertinya akan memikat pembacanya untuk segera menyelesaikan novel inspiratif ini. Kalimat-kalimatnya enak dibaca dan mengalir secara lancar. Namun kemunculan nama-nama latin dari tumbuh-tumbuhan sepertinya akan membuat kelancaran membaca novel ini menjadi sedikit tersendat. Selain itu eksplorasi tokoh Lintang yang jenius disaat berdebat dengan seorang guru dari kota pada saat lomba cerdas cermat terasa tidak logis bagi seorang anak SMP karena di bagian ini Lintang dengan fasih memaparkan prinsip-prinsp optik Descrates, Newton, sampai Hooke. Namun karena kisah ini dikemas dalam bentuk fiksi maka batas antara fakta dan fiksi kiranya tak perlu diperdebatkan.

Pada intinya novel Laskar Pelangi menyampaikan pesan mulia bahwa kemiskinan bukanlah alasan untuk berhenti belajar dan bukan tak mungkin sebuah sekolah kecil dengan segala keterbatasannya ternyata mampu melahirkan kreativitas-kreativitas yang melampaui sekolah-sekolah favorit yang telah mapan baik dari segi fisik maupun pengajarannya. Selain itu kehadiran Novel Laskar Pelangi ini setidaknya akan membuktikan bahwa penulis lokal mampu menghasilkan sebuah novel yang menggugah dan inspiratif yang selama i
ni sepertinya didominasi oleh penulis-penulis asing. @h_tanzil
--HERNADI TANZIL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar