Senin, 25 Juni 2012

Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani

Judul: Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani

Penulis: John C. Maxwell
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti


Sinopsis:
Sebelumnya, Soe Hok Gie bukanlah nama yang populer. Bahkan, sebagai aktivis mahasiswa, sosoknya hanya dikenal oleh komunitas masyarakat terbatas. Pikiran dan sepak terjang perjuangannya tidak banyak diketahui publik di Tanah Air. Menurut penulisnya, hal itu karena kendati pernah terlibat secara aktif dalam politik, ia berbeda dengan para tokoh politik dari generasinya. Ia tidak mencurahkan seluruh hidupnya untuk politik. 

Namun sejak ia difilmkan, namanya dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Namun apakah Hok Gie benar seperti yang ada dalam film garapan Riri Reza? Anda harus membaca buku ini.


Resensi:
Sumber: http://goodreads.com
Dari sejarah pergolakan mahasiswa menentang rezim totaliter Orde Lama Orla) pada dekade 1960-an, bangsa Indonesia patut mencatat dan mengenang satu nama. Ia patut dikenang tidak semata-mata karena andil dan keterlibatannya dalam menyukseskan perjuangan mahasiswa menghancurkan otoritarianisme kekuasaan Orla, tetapi lebih dari itu, ia pantas mendapatkan tempat terhormat di hati dan ingatan warga bangsa karena totalitas perjuangan dan sikap hidupnya yang luar biasa dan mengagumkan dalam upaya menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. 

Sebagai seorang aktivis mahasiswa, ia adalah pribadi yang istimewa. Hal itu tampak melalui cakrawala pemikirannya yang visioner, militansinya yang nyaris tanpa batas, serta komitmennya yang kukuh pada prinsip-prinsip demokrasi dan humanisme universal. 

Karakter demikianlah yang selanjutnya menghadirkan sosoknya sebagai intelektual dan humanis sejati. Dialah almarhum Soe Hok Gie, sosok intelektual muda pendobrak tirani Orla yang dibahas oleh John Maxwell dalam bukunya, Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. 

Soe Hok Gie bukanlah nama yang populer. Bahkan, sebagai aktivis mahasiswa, sosoknya hanya dikenal oleh komunitas masyarakat terbatas. Pikiran dan sepak terjang perjuangannya tidak banyak diketahui publik di Tanah Air. Menurut penulisnya, hal itu karena kendati pernah terlibat secara aktif dalam politik, ia berbeda dengan para tokoh politik dari generasinya. Ia tidak mencurahkan seluruh hidupnya untuk politik. 

Kehidupannya yang tergolong singkat, yakni hanya 27 tahun, juga tidak banyak memberikan peluang padanya untuk mengukir prestasi gemilang, baik secara individual maupun politis. Walau demikian, menyimak kegigihan perjuangannya, sukar untuk membantah bahwa anak muda ceking keturunan Tionghoa itu adalah seorang intelektual dan pejuang yang luar biasa. 

Dalam konteks demikian, selain menambah khazanah studi Indonesia modern tentang biografi tokoh-tokoh politik, penerbitan buku ini juga memperluas peluang publik untuk lebih memahami pandangan dan sepak terjang politik adik kandung sosiolog Arief Budiman ini. Lebih dari itu, buku ini memiliki nuansa lain dibandingkan dengan biografi tokoh-tokoh politik yang telah ada sebelumnya semisal biografi tentang Soekarno, Hatta, Sjahrir, ataupun Soeharto. 

Karena berbeda dengan biografi-biografi tersebut, yang notabene mengulas para tokoh politik terkemuka, biografi yang satu ini justru membedah seorang tokoh "minor" dalam politik Indonesia. Minor dalam pengertian, meskipun merupakan salah satu tokoh dalam pergerakan mahasiswa dekade 1960-an, ketokohan politiknya tidak pernah dikenal luas di Indonesia. Posisinya dalam peta politik nasional pun tidak pernah cukup sentral jika dibandingkan dengan para tokoh di atas. 

Selalu Memberontak 

Maxwell melukiskan, sebagai intelektual, komitmen Soe Hok Gie untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan tidak perlu disangsikan lagi. Jiwanya selalu memberontak tatkala menyaksikan berbagai praktek dehumanisasi, pengingkaran demokrasi, dan pelecehan terhadap akal sehat. Keberpihakannya pada nilai-nilai prinsipil itu membuatnya tidak memedulikan siapa pun yang mesti dihadapinya dan risiko apa pun yang bakal menimpanya. Yang ia kehendaki hanyalah "yang lurus-lurus" saja. 

Sebagai intelektual non-partisan, demikian Maxwell, loyalitasnya hanyalah pada nilai-nilai, melampaui segala sekat dan kepentingan. Ia adalah intelektual bebas yang tidak terjebak pada interest tertentu, entah itu kapital, kuasa, ataupun pamrih politis. 

Sikap antinya terhadap ketidakadilan sesungguhnya telah tumbuh sejak usia dini. Sementara, benih perlawanannya terhadap penguasa Orla berawal saat ia masih duduk di bangku SMA. Suatu ketika, ia bertemu dengan seseorang, yang jika dilihat dari penampilannya, bukanlah pengemis. Namun, orang itu kelaparan, dan untuk mengobati rasa laparnya, orang itu terpaksa makan kulit mangga. Karena tak tega, Hok Gie akhirnya memberikan seluruh uang yang dimilikinya pada orang itu. 

Sebenarnya pengalaman itu bukanlah hal yang luar biasa di Jakarta. Menjadi luar biasa karena peristiwa itu terjadi tak jauh dari istana kepresidenan, tempat yang saat itu menjadi simbol kemewahan dan keglamoran. Kenyataan pahit itu semakin mengentalkan kebenciannya kepada penguasa Orla. 

Sikap kritisnya terhadap pemerintah Orla semakin mengental saat ia menjadi mahasiswa UI, bertepatan dengan kian menguatnya otoritarianisme dalam politik dan kegagalan pemerintah dalam mengatasi perekonomian Indonesia yang merosot tajam. Dalam berbagai refleksi kritisnya di media massa, peme-rintah Orla senantiasa jadi sasaran utama kritikannya. 

Ketidakpuasannya terhadap berbagai pembatasan kebebasan berbicara yang dilakukan oleh Demokrasi Terpimpin melalui sensor pers dan pelecehan terhadap lawan-lawan politik bung Karno membuatnya semakin intensif melontarkan kecaman-kecaman terhadap pemerintah Orla. 

Mengingatkan Orba 

Setelah sukses menumbangkan kediktatoran Orla, ia kerap kali masih melontarkan kritikannya. Namun, berbeda dengan masa sebelum kejatuhan Orla, maksud utama kecamannya terhadap kekuatan lama pada masa pascakejatuhan Orla adalah untuk mengingatkan Orba agar tidak melakukan repetisi sejarah yang memalukan sebagaimana dilakukan pendahulunya. Sayang, warning simboliknya tidak digubris penguasa Orba. Tak mempan dengan kritik simbolik, akhirnya secara terbuka ia menyerang kebijakan Orba yang menurutnya tidak dapat dibenarkan. 

Tak hanya penguasa Orba yang menjadi sasaran kritikan. Maxwell mencatat, Hok Gie juga mengecam para tokoh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang menurut dia telah berkhianat pada perjuangan mahasiswa. Ia begitu gusar saat menyaksikan sebagian besar tokoh KAMI justru larut dalam kekuasaan. Mabuk kekuasaan di kalangan aktivis '66 membuatnya muak dan gerah. 

Godaan harta dan takhta segera merapuhkan soliditas mahasiswa '66. Mereka akhirnya terpolarisasi menjadi dua kekuatan utama yang secara diametral saling berhadapan, yakni kekuatan moral dan kekuatan politik. Sejumlah mahasiswa dari golongan politik akhirnya masuk parlemen. Dan, dengan harta yang bergelimpangan dan kekuasaan yang besar dalam genggaman, kehidupan mereka berubah secara drastis. 

Terhadap kelompok itu, Soe Hok Gie mengecam habis-habisan. Menurut dia, orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang mencatut perjuangan mahasiswa. Secara tajam ia mengkritik, "Sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI adalah maling juga. Mereka korupsi, mereka berebut kursi, ribut-ribut pesan mobil dan tukang kecap pula.'' Ia secara tegas menolak perwakilan mahasiswa yang diangkat sebagai anggota DPR GR karena, menurut dia, peran politik mahasiswa harusnya bersifat situasional, bukan permanen. 

Secara keseluruhan, buku ini sangatlah menarik karena mengulas secara cukup komprehensif sosok Soe Hok Gie, baik menyangkut pemikiran maupun aktivitas politiknya. Berbeda dengan buku seputar Hok Gie yang lain, buku ini adalah sumber kepustakaan pertama yang secara terperinci mengulas sosok sang tokoh. Sebab, buku-buku mengenai dia yang selama ini ada hanya berisi kumpulan tulisan, catatan harian, atau analisisnya tentang suatu masalah. 

Buku ini juga menampilkan perspektif baru tentang sejumlah aspek politik Indonesia pada dasawarsa 1960-an, yakni tentang asal-usul oposisi mahasiswa yang terorganisasi melawan rezim Orla, peran yang dimainkan oleh mahasiswa pada masa-masa transisi menuju Orba, serta perdebatan para aktivis dan intelektual tentang arah politik Indonesia. 

Mengingat begitu banyak hal yang dapat dipelajari dari kehidupan Soe Hok Gie, buku ini layak dibaca oleh para intelektual, peminat sejarah, pejuang demokrasi, dan terutama para aktivis mahasiswa yang ingin belajar bagaimana berjuang dengan tetap mempertahankan kesetiaan pada idealisme. Hanya kepada Soe Hok Gie hal itu dapat dipelajari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar