Sabtu, 31 Maret 2012

Pengakuan Pariyem

Pengakuan Pariyem

Judul: Pengakuan Pariyem
ISBN / EAN 9789799101846 / 9789799101846
Penulis:  Linus Suryadi
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tanggal Terbit:  01 Juni 2009

*****
SINOPSIS
Kumpulan prosa karya Linus Suryadi ini sebagai karya puncak lewat Pariyem, seorang babu asal Wonosari, Gunung Kidul. Dalam karya ini, Linus -sebagai seorang kejawen- membeberkan beragam segi kebudayaan Jawa: dari soal doa sampai dosa, dari soal falsafah hidup sampai sex, dari soal wayang sampai sikap kebangsawanan.
Semua termaktub dalam prosa tanpa kehilangan rasa humor dan wajar. Bahkan soal sex, Linus dengan berani menggambarkan agak telanjang, namun tidak terjebak dalam kevulgaran. Sopan, rapih, indah dan cerdas. Sebuah karya yang mengagumkan.

*****
Resensi: 
Merindukan seorang pariyem 
Subagio Sastrowardoyo 

PENGAKUAN Pariyem penuh dengan istilah Jawa. Bagi pengamat kesusastraan Indonesia percampuran dengan bahasa daerah itu sudah nampak biasa, karena telah dipersiapkan oleh karya lain, oleh pengarang-pengarang sebelumnya. Sajak Darmanto Yatman dan lakon Akhudiat tidak sedikit menggunakan kata dan ucapan Jawa. Gubahan cerita Nyai Dasima oleh S.M. Ardan mengandung omongan khas Jakarta. Sedang dalam roman terkenal Atheis Achdiat Karta Mihardja bermunculan dengan amat kerapnya kata-kata Sunda. 


Dalam Pengakuan Pariyem karangan Linus Suryadi AG ini penggunaan kata bahasa daerah sudah mencapai tahap ekstrim. Sehingga oleh pengarangnya dirasa perlu memberi daftar kosa kata Jawa-lndonesia seluas 57 halaman di bagian belakang bukunya. Istilah bahasa daerah dalam kesusastraan Indonesia bertugas memberi warna lokal pada cerita -- supaya kejadian dapat mengesankan realitas. Tetapi dengan kembali menjemput kata dan ungkapan bahasa daerah itu rupanya ada semacam pengakuan yang diam-diam tak terungkapkan. Ialah, bahwa bahasa Indonesia kurang ekspresif sifatnya untuk menyatakan sesuatu secara hemat dan tepat. Mungkin pada Linus telah timbul pertanyaan: bagaimana menyatakan secara ekspresif pengertian menjuluk atau mbok-mboken dalam bahasa Indonesia, kecuali dengan uraian panjang yang tidak langsung mengena pada intinya. Seperti, 'mengangkat kepala untuk diletakkan di atas bantal (setelah merosot)' dan 'masih bergantung kepada ibu'. 

Saking banyaknya istilah Jawa dipergunakan dalam cerita ini, beberapa di antaranya luput dimasukkan dalam daftar kosa kata. Seperti kata pari taneg, weton, nJawani dan ungkapan nggege mangsa, nrimo ing pandum, yang niscaya akan menghambat pembaca bukan Jawa untuk memahami pengakuan Pariyem dengan sepenuhnya. Kecuali pada roman Atheis, istilah bahasa daerah dalam kesusastraan Indonesia bertujuan mengungkapkan jagat rakyat kecil. Bahasa campuran Indonesia-daerah yang bercorak tak resmi itu merupakan pengucapan diri yang paling tepat bagi lapisan masyarakat yang tak resmi pula. 

Dalam Pengakuan Pariyem, tokoh rakyat kecil yang tampil adalah Maria Magdalena Pariyem dari desa Wonosari Gunung Kidul, yang menjadi babu keluarga bangsawan Cokrosentono di kota Yogyakarta -- kedudukan hidup yang berulang-ulang disebut dalam prosa-lirik ini. Nama Maria Magdalena didapatnya dari pastur Belanda ketika ia bersekolah SD Kanisius di Wonosari. Tetapi berbeda dengan Maria Magdalena di dalam kitab Injil yang sadar akan dosanya, Maria Magdalena dari Gunung Kidul ini tidak mengenal dosa. Dia tidak merasa terikat kepada dogma agama dan dia membenarkan naluri alam. Kehidupan mengalir dengan wajar dan tidak ada penyesalan yang menggoda batinnya. Pariyem lebih dekat kepada kejawaannya daripada kepada agama Katoliknya, "Bila dia itu orang Jawa tulen," katanya, "tak usah merasa perlu ditanya-perkara dosa." 

Seks Pariyem Dasar kepercayaan Pariyem adalah mistik Jawa. Dan Linus lewat angan-angan dan pengalaman Pariyem mengutarakan berbagai perbuatan dan gagasan yang terbit dari pandangan hidup itu. Pariyem merupakan penjelmaan gagasan Linus tentang sikap kejawen: "Hidup mesti selaras dengan alam agar umur kita awet dan panjang. " Keselamatan tergantung kepada harmoni kita dengan alam. Di samping itu berlaku pedoman supaya kita tahu takar dan batas: berpikir dan merasa harus sak madya saja, antara rasa dan pikir selaras sehingga hidup berjalan, 'berdesir'. Berpegang pada patokan hidup itu Pariyem memperoleh sikap yang diidam-idamkan olehnya. Yakni, keikhlasan menerima segala rupa nasib yang datang, sikap lega-lila. 

Ia tidak menolak nasibnya sebagai babu, karena hukum alam menentukan bahwa ada priyayi, ada babu, dan kedua-duanya tak terpisahkan. Kehidupan seks Pariyem, yang dibentangkan dalam buku ini tanpa disidhem dan didekam juga sekedar mengikuti aliran alam yang tidak terhambat oleh cuaca batin yang gelap."Saya mau mengalir saja, saya krasan ada di dalamnya," katanya. Dia tidak gusar ketika hilang keprawanannya oleh teman sekampungnya, Kliwon. Juga kemudian setelah menjadi babu di Yogya, ia melayani kebutuhan bermain cinta putra majikannya dengan lega-lila juga. Bahkan setelah hubungan itu membuahkan anak, ia rela menerima keturunan itu, dan tidak menjadi soal baginya apakah ia akan dinikah atau tidak. 

Linus, 30 tahun, lewat pengakuan Pariyem tidak saja menggambarkan dunia batin seorang wanita Jawa, seperti yang dinyatakan di bawah judul bukunya. Tetapi ia memaparkan pula masarakat di lingkungan Pariyem dengan kebiasaan-kebiasaan dan tatacaranya. Ia pun mempergunakan tokoh Pariyem untuk menegaskan sikapnya terhadap kehidupan sosial dewasa ini. Dan rasa humor yang halus menyertai kritiknya, sesuai dengan kesantaian gaya hidup Pariyem. 

Satu pokok pikiran Linus yang penting yang dikemukakannya lewat Pariyem adalah mengenai pendirian budayanya, yang disebutnya ngelmu krasan. Pendirian itu berpegang pada orientasi, krasannya, pada negeri serta tradisi sendiri. Sikap ini dihadapkan bertentangan dengan universalisme yang dianut penyair modern seperti Chairil Anwar dan Sitor Situmorang -- yang oleh Linus disifatkan sebagai "orang-orang mengembarakan batin/dan mencari jangkar ke seberang/Dengan buminya merasakan asing/tidak dekat dan tidak akrab." 

Ganjil & Tak Kena 

Pengakuan Pariyem merupakan buah sastra Indonesia yang paling bagus selama barang lima tahun ini. Dalam bentuk prosa-lirik yang serba ringkas dan bervariasi gaya penuturannya, karya ini telah berhasil mencakup ruang-lingkup kehidupan yang luas. Dengan menjamah segi Jasmam, sambil mengajak masuk ke dalam relung jagat manusia Jawa. Angan-angan, gagasan serta realisme kehidupan jalin-menjalin dengan manisnya dalam cerita ini. 

Tetapi ada sesuatu yang terasa masih ganjil dan tak kena. Linus memang dengan meyakinkan memaparkan cita-cita kejawen yang secara umum masih diakui sebagai nilai dan pedoman hidup yang berharga dalam masyarakat Jawa. Tetapi pertanyaan timbul waktu membaca buku ini: menurut kenyataannya, masih mungkinkah kita menjumpai seorang babu seperti Pariyem itu di dalam rumah tangga, di Yogya atau di kota lain di Jawa Tengah? Bukankah Pariyem hanya tinggal penjelmaan cita saja tentang etika Jawa, yang tidak lagi dapat kita temukan pada tingkah laku pembantu rumah tangga di Jawa? 

Pariyem yang digambarkan dalam buku Linus ini hanya mungkin ada barang empat puluh tahun yang lalu -- sekarang sudah bungkuk dengan gigi ompong di rumah sebuah keluarga modern, seperti keluarga bangsawan Cokrosentono itu, Hubungan babu-majikan yang santai dan ramah dan penuh pengabdian seperti yang dikemukakan Linus boleh dikata sudah tak ada di Jawa. Barangsiapa setelah membaca Pengakuan Pariyem berkeinginan menemukan babu seperti dia, terang akan penasaran dan kecewa. Pariyem hanya tinggal suatu kerinduan. Subagio Sastrowardoyo Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1981/06/06/BK/mbm.19810606.BK51060.id.html


Linus dan Pariyem
R. Fadjri, L.N. Idayanie, Dwi Arjanto, Agus S. Riyanto


LINUS adalah Pariyem. Pariyem adalah Linus. Kedua nama itu bak dua sisi mata uang. Jika dibolak-balik tetap mencitrakan pribadi yang sama. Nama lengkap yang pertama adalah Linus Suryadi Agustinus, seorang penyair yang wafat pada Jumat 30 Juli lalu, dalam usia 48 tahun. Sedang nama lengkap yang kedua adalah Maria Magdalena Pariyem alias Iyem, tokoh rekaan sang penyair dalam prosa lirikPengakuan Pariyem. Bagi sastrawan Sapardi Djoko Damono, Linus tak bisa dipisahkan dari prosa liriknya yang terbit pertama kali pada 1981 itu. Menurut Sapardi, inilah satu prosa lirik paling panjang yang pernah dihasilkan sesudah zaman kemerdekaan.
Lewat tokoh Iyem pula, kita bisa melihat pribadi Linus. Keduanya mau tak mau menyandang agama Katolik di KTP, tapi Linus atau Pariyem sejatinya seorang Jawa yang hidup dalam kereligiusan kejawen. "Yesus itu sebenarnya penganut kebatinan," kilah Linus semasa hidupnya, sebagaimana yang dikutip Ashadi Siregar dalam kata pengantar Pengakuan Pariyem. Keduanya juga pribadi yang lugu tipikal orang desa. "Cah ndeso tenan (benar-benar anak desa)," demikian komentar Umar Kayam. Tapi, di balik keluguan itu, kedua tokoh ini mampu mengekspresikan prinsip hidup yang ndakik-ndakik (rumit) bak priayi. Tak berlebihan jika Linus dan Pengakuan Pariyem pada masanya mendapat perhatian tak cuma dari kritikus sastra atau pembaca sastra, tapi juga dari antropolog dan sosiolog. Sebab, Pengakuan Pariyem adalah sebuah karya sastra yang mencoba mengungkapkan situasi kebudayaan yang ada di Jawa, yang berbenturan dengan kebudayaan lain. "Ini merupakan salah satu tonggak di dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern," ujar Sapardi, Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Inilah puncak pencapaian seorang penyair yang tetap bertahan hidup di Yogyakarta. Sebuah lingkungan kultural yang menjadikannya seorang seniman yang hingga akhir hayatnya hanya menggunakan skuter ke mana-mana, dengan jaket jeans melilit tubuhnya dan tas yang sudah tampak kusam. Meski zaman sudah berubah, gaya hidup Linus tak jauh bergerak dari gaya hidup seniman Malioboro pada 1970-an. Saat itu, ia memutuskan keluar dari kehidupan kampus untuk bergabung dengan komunitas Umbu Landu Parangi, yang kondang dengan sebutan "presiden Malioboro", dalam Persada Studi Klub. Ia bersama calon penyair lainnya lebih suka "bergelandangan" di Malioboro daripada suntuk di kampus mendengarkan kuliah. "Sejak itu mulailah dia membuat puisi," tutur Ashadi Siregar, salah seorang sahabat Linus. Saat itu, pemandangan yang jamak adalah wajah cemas sejumlah anak muda--termasuk Linus--yang menunggu kedatangan sang "dewa" Umbu Landu Parangi di depan kantor mingguanPelopor, hanya untuk mengetahui puisi siapa saja yang dimuat dalam mingguan itu.
Pada mulanya, puisi Linus mirip dengan sajak Goenawan Mohamad atau Sapardi Djoko Damono: sangat liris dan imajinatif. Tapi, menurut Bakdi Sumanto, dosen Fakultas Sastra UGM, dalam perkembangannya Linus mulai menemukan gayanya sendiri, yakni ketika ia mulai mengeksplorasi latar belakang budaya Jawa. Hal inilah yang berkembang terus sehingga melekat menjadi ciri khas Linus, yang kemudian diimbuhi dengan kekuatan liriknya. Maka, lahirlah buku kumpulan puisi maupun prosa yang sangat bercorak Jawa, semisal Langit KelabuPerkutut ManggungRumah Panggung, Regol Megal-megol, danTirta Kamandanu. Karyanya yang dipublikasikan paling akhir--dan belum selesai--adalah Dewi Anjani,yang dimuat jurnal Kalam.
Masalah intervensi kosakata Jawa dalam karya Linus dipersoalkan pembaca, seolah Linus tidak mampu berbahasa Indonesia. Begitu banyak kosakata Jawa yang berloncatan dalam karyanya sehingga memaksa penerbit melampirkan kamus kecil Jawa-Indonesia pada sejumlah buku Linus. Tapi, bagi Sapardi, bahasa sastra ala Linus itu sah karena kultur seperti itu memang ada dalam kenyataan sehari-hari. Apalagi, katanya, Bahasa Indonesia itu kan sangat beragam. "Yang penting adalah kejujuran Linus menggunakan bahasa yang betul-betul milik dia," ujar Sapardi.
Linus tidak cuma mampu membuat syair, tapi juga dikenal sebagai kritikus sastra lewat tulisannya di berbagai media massa yang kemudian dibukukan, yakni Di Balik Sejumlah Nama. Meski kritik sastra Linus dianggap tidak akademis, menurut Profesor A. Teeuw, pengamat sastra Indonesia yang memberi tulisan pengantar pada buku itu, kritik sastra Linus mengandung daya pengamatan yang orisinal, pemahaman yang tajam, pengalaman membaca yang luas, dan daya cipta yang sehat dan kuat.
Kini khazanah sastra Indonesia kehilangan kontributornya yang paling bersemangat menggauli sastra dari pucuk hingga akarnya. Entah apakah masih ada seorang juri lomba penulisan puisi yang mau menyempatkan diri menyurati peserta yang dianggap potensial hanya sekadar memberi dorongan untuk mengembangkan diri. Dan mungkin hanya Linus yang bersedia melakukan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar